Diberdayakan oleh Blogger.

Laporkan Penyalahgunaan

REVIEW SHARING THOUGHT TRAVEL

Amelia Utami.

"I never mean to start blogging, I think it's late. But if I didn't start to write, I would never start nothing"



Sinopsis :


Sigi sudah tiga tahun bekerja sebagai staf anggota DPR, tapi tidak juga menyukai politik. Ia bertahan hanya karena ingin belajar dari atasannya -mantan aktivis 1998- yang sejak lama ia idolakan, dan berharap bisa dipromosikan menjadi tenaga ahli. Tetapi, semakin hari ia justru dipaksa menghadapi berbagai intrik yang baginya menggelikan.

Semua itu berubah ketika ia bertemu lagi dengan Timur, seniornya di SMA yang begitu bersemangat mendirikan partai politik. Cara pria itu membicarakan ambisinya menarik perhatian Sigi. Perlahan Sigi menyadari bahwa tidak semua politisi seburuk yang ia pikir.

What happens when you dislike politicians so much, yet you fall in love with one? 

*****

Mendengar nama Alanda Kariza membawa kembali ingatan saya ketika SMP, saat berlangganan membeli majalah KawanKu. Saya masih ingat bahwa saya pernah membaca profilnya yang menurut saya menginspirasi. Karena di usianya yang masih muda ketika itu, seingat saya Alanda sudah memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap lingkungannya. Generasi anak muda yang akan sukses pikir saya.

Saat tak sengaja melihat di Goodreads, ternyata Alanda sudah menerbitkan beberapa buku, tapi entah kenapa saya belum tertarik untuk membaca buku-bukunya hingga (lagi-lagi tak sengaja) melihat Instagram Gramedia, Alanda menerbitkan novel baru dengan judul yang sangat menarik : Sophismata. Jadi, ada empat alasan mengapa saya tertarik membeli bukunya. Yang pertama, judulnya. Kedua, cover bukunya yang eye catching. Ketiga, sinopsis ceritanya. Keempat, saya ingin membaca tulisan Alanda Kariza untuk pertama kalinya.

I'm so interested!

*****

Membaca halaman-halaman awal Sophismata, saya seperti sedang mengikuti kelas mata kuliah ilmu politik dimana dosennya sedang menceritakan salah satu tokoh politik Indonesia beserta sepak terjangnya didunia politik. Gimana ya. Menarik sih, tapi sempat bikin ngantuk dan kening saya berkerut berkali-kali. Entah karena dasarnya saya nggak begitu tertarik dengan dunia politik atau karena sang penulis menceritakannya dengan gaya teoritis dan terlalu struktural. Hal tersebut bisa di baca dari percakapan antara Johar dan Timur yang menurut saya...terlalu cerewet nggak sih itu si Johar jelasinnya? I'm kinda booring. Jadi pembaca seolah-olah sedang menyimak obrolan seorang dosen dan mahasiswa, bukan sedang membaca novel. IMHO aja sih.

Saat tokoh Johar pamit dari pertemuannya dengan Timur, jujur saja saya mengucap alhamdulillah dalam hati. Bodo amet Johar ini anggota DPR, mantan aktivis atau idolanya Sigi. Bagi saya, Johar lebih mirip dosen yang membosankan ketika menyampaikan materi mata kuliah. Bikin mahasiswanya pengen cepet-cepet keluar kelas sebelum jam kuliah beres :(

Dan part yang saya tunggu-tunggu akhirnya dateng juga, yaitu interaksi antara Sigi dan Timur. Dari cerita flashback keduanya saat satu sekolah dulu di SMA, saya langsung suka pada kedua tokoh ini. Kenapa? Karena mereka sama-sama pintar. Tipe-tipe anak yang rajin belajar dan berprestasi, tapi ketika keduanya saling tertarik satu sama lain, bikin yang baca jadi pengen ciye-ciye-in. 

Fyi, saya komentar begitu baru baca halaman ke-23 loh.... 

Baru halaman 23 saja kau sudah banyak komentar, Amiiii.

*di geplak*


Poin plusnya dari novel ini, dari pekerjaan Sigi sebagai staf administrasi DPR, saya jadi tau seluk beluk pekerjaan anggota DPR dan stafnya, rapat-rapat yang diselenggarakan, proses RUU serta rumor dan intrik-intrik politik yang mengiringinya. Pengetahuan baru untuk saya juga didapat dari pekerjaan Timur sebagai criminal justice. Bidang peradilan pidana. Yang menarik justru bukan pekerjaan utama Timur, tapi pekerjaan sampingannya sebagai sekjen sebuah partai baru yang di dirikan bersama kedua temannya, Gani dan Tirto. Disini saya bisa tau lebih jelas bagaimana proses sebuah partai baru di dirikan mulai dari awal. Agak familier juga dengan hal begini karena dikampus saya dulu juga ada partai-partai kampus, meskipun skalanya untuk pemilihan ketua BEM.

Kalau bilang Sophismata novel yang lumayan berat karena berkaitan dengan politik, saya pikir nggak juga. Dari awal membeli saya sudah tau bahwa ini mirip novel MetroPop yang kebetulan temanya tentang politik yang di bumbui kisah romance antara kedua tokoh utamanya. Sempat surprise karena Sigi dan Timur memulai sebuah hubungan (setelah sekian lama tidak bertemu setelah lulus SMA) dengan melakukan hal yang "berani". Ya you know-lah khas anak muda metropolitan. Drink, mabuk, kiss, kemudian tidur bersama dan besoknya bersikap biasa aja. Aduh di bagian ini saya susah membayangkan bagaimana sosok Timur yang kaku, hobi baca buku, pake kacamata dan suka pake kemeja bisa seromantis itu atau se-"berani" itu? Wkwk. Mungkin karena dia pernah kuliah di luar negeri kali ya jadi bukan hal yang tabu lagi menurutnya. Bisa juga karena pengaruh alkohol atau perasaan tertariknya pada Sigi yang sudah tak tertahan sejak SMA? Ya silakan menerka-nerka saat membacanya.

Terlepas dari itu, saya menikmati setiap interaksi dan isi obrolan antara Sigi dan Timur. Walaupun obrolannya cenderung normatif, tapi tidak membosankan. Justru menambah wawasan bagi saya pribadi yang tidak begitu paham dunia politik. Agak malu sebenarnya sih ya karena saya sendiri sarjana politik tapi tidak dekat dengan dunia tersebut (hehehe). Sigi memahami ketertarikan Timur terhadap politik serta mendukung cita-citanya. Sedangkan Timur tidak menghakimi Sigi walaupun gadis itu berpandangan bahwa politik dimatanya sama saja : abu-abu. Tidak jelas warnanya hitam atau putih. Seperti hubungan mereka.

Cieeeee... 

Tuh kan saya ciye-ciye-in lagi. Hahahaha

Pada akhirnya Sophismata menghadirkan cerita yang segar bagi saya. Politik di balut dengan romansa anak muda yang cerdas. Kurang lebih saya setuju dengan review dari Salman Aristo-Producer, Sutradara dan Penulis Skenario tentang Sophisnata yang tercetak di cover belakang novel. 

"Politik. Anak muda. Mimpi. Kisah cinta. Apa lagi yang hendak kalian dustakan, wahai millenials? Buku ini diracik dari, tentang, dan untuk kalian. Ambil. Resapi"

Well, sepertinya Alanda Kariza akan masuk ke list penulis yang buku selanjutnya akan saya nantikan :)

Bintang 4 dari 5 untuk Sophismata!



Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar

Hari ini saya mau narsis. Kenapa? Karena saya akan cerita tentang diri saya. 

Pede ya? Hahahaha.

Tulisan ini sebenarnya berakar dari pertanyaan beberapa teman yang bertanya bagaimana mulanya saya hobi membaca buku dan menulis -sampai memutuskan untuk membuat personal blog dan masih konsisten menulis postingan terbaru. Waktu itu nggak pede jawabnya karena saya cuma blogger biasa yang doyan nulis hal-hal yang receh :(

Tapi yaudah saya sharing lewat blog aja deh ya, barangkali juga ada yang mengalami hal yang sama seperti saya. 

Awal suka membaca buku itu (udah pernah saya post di status facebook kalau nggak salah) karena waktu kecil saya suka di beliin buku-buku dongeng macam Alibaba dan 40 Penyamun, Angsa Emas, Hansel dan Gretel, Gadis Korek Api dan sejenisnya. Terus berlanjut baca komik serial Detective Conan (sampai sekarang sih). Perkenalan saya dengan novel fiksi itu di mulai dari SD saat membaca novel serial Lupus milik kakak saya. Dari situ saya mulai "kecanduan" baca buku. Kalau ada kesempatan pergi sama orang tua, saya pasti minta mampir ke toko buku. Dan ya seiring berjalannya usia, buku bacaan favorit saya itu emang buku fiksi macam novel-novel Indonesia hihi.

Sedikit curhat, nih. Sepanjang membeli, membaca dan mengoleksi novel-novel Indonesia atau buku fiksi lainnya, saya sering banget dapet "celaan" : "Duh, bacaannya ko nggak berbobot". Sempet sedih sih ya. Tapi kemudian teringat oleh twit Ika Natassa, salah satu penulis novel best seller.

Twitnya mewakili diri saya banget. Jadi saran aja, bacalah buku yang kamu suka. Referensi orang tentu dibutuhkan, tapi balik lagi. Buku yang kamu baca belum tentu bagus di mata orang lain. Begitu juga sebaliknya.

Kemudian terkait dengan hobi menulis. Benar kata orang, kalau kita hobi membaca maka secara tidak langsung akan hobi menulis juga. Iya, saya juga begitu. Karena sering baca novel, maka saya lebih suka menulis cerita dan hal-hal ringan tentang personal life. Mungkin kalau saya hobi baca buku "serius", maka mungkin saya juga akan terbiasa menulis hal-hal "serius". Bagi saya pribadi, buku yang kita baca itu sangat berpengaruh terhadap tulisan yang kita tulis.

Tapi dibalik alasan-alasan basic seperti itu, ada alasan personal kenapa saya suka menulis. Dari kecil saya nggak punya banyak teman dan sering mengalami kesulitan dalam bergaul. Temen dekat saya sampai sekarang bisa dihitung dengan jari. Banyak orang yang menganggap saya ini cepet akrab sama orang, ceriwis, suka ketawa dan kadang suka ngelucu. Ya memang. Tapi untuk ke beberapa orang saja. Selebihnya saya tipe penyendiri. Lebih suka didalam rumah kalau nggak ada keperluan diluar. Menghabiskan waktu didalam kamar. Entah membaca buku, menulis, mendengarkan musik, menonton film, ngobrol dengan keluarga atau mengkhayal sambil ngemil. Aduh yang terakhir jangan ditiru ya hahaha.

Jadi begitulah...

Tahun 2012 saat pulang travelling dari Singapore, saya memutuskan untuk membuat personal blog. Dan sejak itu....

Kalau lagi sedih, saya nulis.
Kalau lagi galau, saya nulis.
Kalau lagi bahagia, saya nulis.
Kalau abis mendengarkan cerita orang dan menginspirasi, ya saya nulis.
Kalau lagi suntuk sama kerjaan, saya kadang nulis.
Apalagi kalau abis baca buku dan pulang travelling, ya pasti saya nulis.

Bagi saya, menulis itu selain bisa menjadi "teman" saat kesepian, juga bisa dijadikan "pelampiasan" segala perasaan yang sedang dirasakan. Ya daripada saya nangis atau marah-marah nggak jelas, lebih baik energi negatifnya saya salurkan lewat tulisan kan? Kalau kata penulis novel sih, lebih baik energi negatifnya disalurkan lewat karya. Kalau saya sih belum punya karya, jadi nulis sebatas di blog aja.

Aduh jadi panjang gini ya tulisannya. Maaf atuh. Yaudah segitu aja kali ya. Abis nggak tau lagi apa yang mau ditulis.


Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Sore ini turun hujan kembali setelah sekian lama. Meskipun hanya rintik-rintik dan tidak besar. Ah, semoga jalan rumahku tidak banjir. Meskipun banjir semoga cepat surut.

Kata orang jika hujan turun perasaan kita jauh lebih melankolis. Tiba-tiba teringat mantan, teringat kenangan dulu dan menghayal tentang masa depan. Aha, yang terakhir sedang aku pikirkan sekarang. Menghayal masa depan. Nampak keren, kan? Bukan masa depanku seorang diri sejujurnya, tapi bersama anak-anakku kelak jika nanti di berikan kepercayaan oleh Allah. Amin.

Apa yang di khayalin? Menikah saja belum. Hahaha ya silakan kalian boleh tertawa karena memang nyatanya aku belum menikah dan mungkin aku terlalu jauh berandai-andai. Boleh kan? Toh gratis. Oh ya jangan bertanya kapan aku menikah, kalau sudah waktunya aku pasti undang kalian *salim*

Sambil mendengar suara hujan, aku mulai berpikir berapa banyak cerita yang nanti aku ceritakan pada anak-anakku kelak. Tentang diriku pastinya karena aku ibunya wkwk. Tapi bisa saja tentang orang lain. Atau saudara. Maka dari itu mulai sekarang aku memutuskan untuk mempertajam ingatanku agar bisa mengingat-ingat segala peristiwa yang sudah aku lalui, setidaknya hingga hari ini. Mana yang dapat di jadikan pelajaran, mana yang akan aku bagikan dan mana yang cukup di simpan dalam memori saja. Tinggal di sana selamanya.

Nak, saat menulis tulisan ini, calon ibumu berusia 25 tahun. Yup, sudah sering ditanya kapan menikah, tapi alhamdulillah belum pernah ditanya kapan mati hihi. Calon ibumu ini sering mengeluh tentang pekerjaannya karena sering bikin bosan, capek dan lain-lain. Namanya saja mengeluh pasti banyak alasan hahaha. Tapi percayalah walaupun sering mengeluh segala pekerjaan kantor selalu selesai tepat waktu. Begitulah nak, jika nanti kamu kelak bertemu dengan hal yang seperti itu, tetaplah bertanggung jawab melakukan yang terbaik. 

Aku belajar banyak dari lingkungan sekitar. Orang tua aku, mereka orang yang hangat dan sayang keluarga, tapi sayangnya kami, anak-anaknya, tidak di biasakan mengungkapkan perasaan kami. Jadi, dari kecil aku sendiri terbiasa memendam segala perasaan di dalam hati. Itu sesuatu yang kurang baik karena bisa berdampak pada kondisi psikologi. Oleh karena itu, aku tidak mau seperti itu. Kelak, aku ingin bukan hanya jadi ibu, tapi juga bisa jadi teman anak-anakku. Saling berbagi perasaan satu sama lain. Aduh, di bayangkannya saja sudah indah.

Hujan masih turun rintik-rintik. Tidak terasa cerita makin panjang. Padahal baru permulaaan. Nah, loh. Ya namanya juga berandai-andai. Pasti panjang dan sulit berhenti. Hehehe.

Nak, aku kurang tepat pilih jurusan kuliah. Mungkin kedengarannya sepele, tapi itu tidak untuk di tiru. Mungkin aku baik-baik saja, tapi ada penyesalan. Meskipun tidak banyak. Hal itu membuktikan bahwa aku galau, kurang teguh pendirian serta tidak berani memperjuangkan passion yang di miliki. Kelak jika kamu punya passion di bidang apapun, kamu harus berani melangkah. Jadi kamu tidak akan mengalami ke-tidak-nyambungan dalam hidup. Passion apa, jurusan kuliah apa dan pekerjaan apa. Ya Allah jadi curhat........

Dari beberapa hal yang akan diceritakan (mungkin juga tidak penting) , ada satu hal yang ingin aku banggakan padamu. Aku, suka sekali membaca buku. Walaupun itu novel dan bukan buku kuliah (hehe). Semaju apapun nanti, 20 tahun mendatang atau satu milenium yang akan datang, buku tetaplah jendela dunia. Meskipun nanti teknologi akan lebih canggih untuk mendapatkan ilmu dan informasi, tetap pilihlah buku. Jangan pernah malas membaca dan membeli buku. *agak maksa* *muka galak* hahaha.

Yang terakhir...

Karena hujan mulai berhenti.

Aku, suka nonton drama korea!

HAHAHAHA

Nggak apa-apa kalau kamu nggak suka. Nggak maksa. Karena kegiatan ini bagi sebagian orang tidak berfaedah. Tapi bagiku itu hiburan pelepas penat dan lelah.

Bahagia itu sederhana, nak.

Oke nampaknya aku lapar dan ada hidangan ayam balado di meja makan. Oh ya, sampai detik ini aku nggak pinter masak. Mudah-mudahan nanti bisa belajar. Kalaupun tetep nggak pinter masak, mudah-mudahan ada yang maksa aku belajar hehehe.

Udah ah segitu dulu. Nanti bersambung lagi. Kapan-kapan. Kalau sudah punya anak beneran.

Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Teman saya pernah cerita bahwa beberapa hari sebelum menikah dia mendapatkan pesan dari salah satu temannya. Pesannya kira-kira berbunyi bahwa temannya tersebut menanyakan berapa isi amplop uang kondangan yang teman saya berikan kepada dia saat menikah, karena menurut pengakuannya, nama teman saya tidak ada dalam catatan tamu undangan yang memberikan amplop kondangan. Teman saya seketika terkejut karena tidak terbiasa dengan pertanyaan tersebut. Lebih terkejut lagi karena temannya itu bertanya secara terang-terangan meskipun hanya melalui pesan bbm.


Dengan kikuk teman saya menjawab bahwa dia lupa. Dia bukan pura-pura lupa, tapi beneran lupa karena dia bukan tipikal orang yang mengingat-ingat berapa isi amplopnya setiap pergi kondangan dan dia juga tidak punya catatan seperti yang temannya katakan.

Tapi temannya tetep kekeuh bertanya dan teman saya akhirnya menjawab bahwa setiap kondangan biasanya dia selalu memberikan uang sebesar sekian. Dan coba tebak apa jawaban temannya? Temannya tersebut berkata bahwa mungkin dia akan memberikan uang kondangan lebih kecil dari yang teman saya berikan.

TEMAN SAYA BUKAN HANYA TERKEJUT LAGI, TAPI LANGSUNG ILFIL SEJADI-JADINYA!

Ya coba aja kalau kamu jadi teman saya, tanpa basa basi di tanya seperti itu, gimana perasaannya? Kalau saya sih bakal jawab : "ELO NGGAK DATENG JUGA NGGAK MASALAH!" *kibas hijab*

Hmmm hmmm saya jadi inget cerita ibu saya beberapa bulan lalu kalau ada tetangga kami yang berantem gara-gara uang kondangan. Jadi ceritanya begini, tetangga A memberikan uang kondangan sebesar 200 ribu ke tetangga B, berapa hari kemudian tetangga B mendatangi rumah tetangga A untuk menagih. IYA, MENAGIH. MENAGIH APA COBA? MENAGIH UANG KONDANGAN YANG KURANG! Lengkap dengan membawa catatan. Ternyata tetangga A hanya memberikan uang kondangan sebesar 100 ribu. Dan kemudian mereka tidak saling bertegur sapa.

Waktu diceritain ini, saya dan kakak perempuan saya sampai tertawa terbahak-bahak. Apa ya? Konyol gitu. Hanya perkara uang kondangan jadi merusak hubungan antar tetangga.

Saya sendiri juga kalau pergi kondangan (entah ke teman dekat atau teman yang saya kenal baik), pasti memberikan sesuatu. Entah kado atau sejumlah uang di amplop. Tapi ya nggak pernah di catat dan nggak pernah di ingat. Kalau tanya kenapa, ya karena saya niat kondangan tuh ikhlas. Mau ngasih sesuatu sebagai bentuk rasa ikut bahagia atas pernikahan mereka. Sembari sambil silaturahmi karena bisa ketemu sama teman-teman yang lain. Ya sesimpel itu dan sejujurnya saya nggak mengharapkan balasan. Jika suatu saat saya menikah dan teman yang saya kondangin ini nggak hadir (entah apapun alasannya), inshaa alllah saya nggak akan mempermasalahkan. Balik lagi ke niat awal, saya pergi ke pernikahan teman untuk apa. 

Jadi rasanya bagi saya pribadi aneh jika ada orang yang mau pergi ke pernikahan teman atau saudara, tapi banyak pertimbangan seperti : "saya nggak mau hadir karena dia juga nggak dateng ke nikahan saya" atau "saya mau dateng tapi bisanya cuma ngasih uang kondangan segini karena dia juga ngasih ke saya segini". Eh ya Allah dasar centong nasi, kalau bisa dateng mah ya dateng ajalah. Ribet amet. Kecuali memang ada halangan atau keperluan yang membuatnya nggak bisa dateng. 

Kenapa harus bales-balesan gitu sih? Tradisi atau niatnya yang memang nggak ikhlas?

Kalau ngasih uang kondangan 20 ribu, dia bales ngasih 20 ribu lagi.
Kalau ngasih satu juta, bales satu juta lagi gitu?
Kalau kita nggak dateng ke pernikahan mereka, mereka juga nggak mesti dateng ke pernikahan kita?

Hahahaha i'm so sorry, terlepas dari itu adalah tradisi atau sebuah "kepantasan", saya tetap merasa janggal dan ya merasa gimana gitu. Apalagi kalau niatnya pamrih. Naudzubillah mindalik. Kalau saya jadi tuan rumah yang ngadain pesta pernikahan sih, saya pengennya semua orang yang dateng tuh happy dan nggak usah terbebani sama isi amplop undangan atau isi kado. Doa yang tulus walaupun kesannya ko ya munafik banget kaya nggak butuh duit, setidaknya di ucapkan dengan ikhlas. Daripada ngasih kado atau uang tapi di permasalahkan sampai merusak hubungan pertemanan.

Balik lagi ke niat. Balik lagi ke niat.

Apalagi dalam ajaran agama islam sudah di katakan bahwa tujuan mengadakan pesta pernikahan adalah untuk memberitahukan kepada lingkungan sekitar agar tidak menimbulkan fitnah. Mengadakan pesta pernikahan memang butuh modal, tapi ya nggak sampai segitunya sih 😂 Dan oh ya kita sebagai yang datang ke pesta pernikahan tesebut juga sudah selayaknya berniat baik untuk kedua mempelai. Memberikan sesuatu sudah sepantasnya, tapi kalau sampai meyinggung perasaan orang yang mengundang kita atau sampai ribut karena uang atau kado kondangan, IMHO mending nggak usah dateng deh ya. 


Love
Amelia Utami.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Jadi, malem ini mood saya lagi nggak bagus. Padahal tadi pagi saya berangkat kerja dengan semangat dan perasaan optimis, meskipun 5 hari ke depan harus membantu pekerjaan teman saya yang sedang cuti menikah. It's okay. Dan hari ini pun saya melewati hari yang cukup lancar. Pekerjaan beres, pulang kerja nggak terlalu sore dan sebenarnya nggak terlalu capek sih. 

Tapi nggak tau kenapa ketika sampai di dalam kamar, sudah berganti pakaian dan hanya duduk santai, mood saya mendadak kacau. Down begitu saja. Pernah nggak kalian mengalami hal ini? Tanpa sebab, tiba-tiba mood jadi nggak bagus. Mendadak mellow. Mendadak ingin nangis. Mendadak capek pikiran luar biasa. Dan yeah, sore tadi saya mengalami itu. Dari kantor padahal sudah excited ngerencanain begitu sampai rumah langsung mandi, terus malemnya nonton drakor seperti biasa.

Tapi...

Yang saya lakuin cuma main hp, diem, main hp lagi, diem. Sampai akhirnya saya nggak mood nonton drakor dan coba tebak, saya baru mandi tepat jam 9 malem! Taraaaa...

Setelah mandi pikiran lumayan segar. Mood juga agak membaik. Kemudian saya merenung *berat ya hidup gue? Hahaha*, menjalani rutinitas yang sama setiap hari itu kadang menjenuhkan. Bangun pagi - kerja - pulang kerja - malemnya tidur lagi. Besok tinggal tekan tombol repeat. Ya semua itu memang sudah konsekuensi orang yang bekerja, tapi merasa jenuh itu manusiawi ko. Apalagi saya libur hanya di hari minggu (kadang kala masuk piket), butuh usaha keras untuk tetap happy dan semangat. Meskipun saya akui banyak gagalnya. Kalau gagal biasanya saya marah-marah (wkwk) atau tiba-tiba nangis dan pengen teriak "please gue capek. Give me a break!"

Kadang ya (kadang loh), saya kangen masa pengangguran. Bukan karena kangen nggak punya penghasilan (ih, siapa juga coba yang nggak sedih kalau nggak punya duit), tapi lebih kepada kangen masa-masa produktif saya. Berarti kerja nggak produktif? Ya produktif dan tentu saja menghasilkan, tapi seperti yang sudah saya katakan. Tinggal tekan tombol repeat! 

I miss random schedule. Dari bangun pagi sudah punya rencana mau ngapain dan mau kemana. I mean, saat sudah bekerja kita mungkin masih bisa melakukan hal yang sama seperti itu, tapi nyatanya saya sendiri lebih sering memilih menggunakan hari libur untuk istirahat. Badan capek dan pikiran capek. Kadang mau keluar rumah pun harus mikir 2x. "Hari ini mau tidur siang aja" atau mau ngelakuin kegiatan mengisi waktu luang juga lebih banyak malesnya. Beberapa kali emang berhasil, tapi kebanyakan gagal.

Mungkin saya butuh waktu lebih dari 24 jam? HAHAHA

....

Pada akhirnya ini hanyalah tulisan random pelepas penat dan lelah. Mungkin saya nggak sendirian. So, if you want judge saya nggak bersyukur, nggak apa-apa. Berarti kamu manusia strong. Kalau saya sih manusia yang masih banyak ngeluh dan sedikit-sedikit curhat macam penonton mamah dedeh. 

"JAMAAAAH....."

Mari tidur karena besok masih hari jumat ~


Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Sore ini saya membaca salah satu postingan media sosial teman sebaya saya yang sudah memiliki...2 anak. Yup, dia menikah sekitar umur 22 tahun. Kalau tanya saya lagi ngapain di umur segitu, jawabannya saya baru kelar sidang skripsi dan sedang menunggu wisuda.

Apakah saat umur 22 saya memikirkan pernikahan? Hanya terlintas atau hanya jadi bahan candaan bersama teman-teman kuliah. "Cie...udah lulus kuliah. Mau kerja atau nikah nih?" Candaan jayus antar kami. Dengan yakin saya bilang. "Kerja lah. Mau ngerasain punya penghasilan sendiri".

Dan sampailah saya pada hari ini. Umur 25 tahun dan belum menikah.

Saya pikir saya akan merasa stress karena akan sering ditanya "kapan menikah?", "sudah punya calon belum? Atau "kerja udah dapet, mau nunggu apalagi?". Tapi nyatanya sampai detik ini, saya masih enjoy dan happy dengan segala rutinitas yang saya lakukan di usia 25 tahun. Saya masih nangis dan ketawa kalau nonton drama korea, saya masih plin plan kalau beli tas atau sepatu atau sereceh saya uring-uringan kalau lagi download film udah 99 % tapi gagal.

I'm abnormal? Maybe 
I'm like a teenagers? Oh of course, my soul still forever young xoxo

Saya punya pacar dan ya biasa aja. Nggak setiap hari merasa terbebani dengan pikiran "harus menikah secepat mungkin". Rencana menikah pasti ada, tapi lebih pada berdoa dan berusaha. Nggak menggebu-gebu karena di kejar target umur.

Nggak takut di katain perawan tua dan nggak laku?

Nggak. Sama sekali nggak. Norak banget kalau masih ada yang ngatain perempuan dewasa yang belum menikah karena nggak laku. Emangnya barang jualanan pake laku nggak laku.

Bagi saya (terlepas dari faktor umur), seseorang dalam memutuskan untuk menikah itu nggak sembarangan. Ada pertimbangan yang sifatnya personal. Nggak ujug-ujug "saya udah umur segini, saya harus cepat nikah" atau "pacaran bertahun-tahun harus cepet nikah tar nggak jodoh, lagi". Nggak, bukan begitu. Kamu menikah muda di usia 22 tahun mungkin saja karena sudah siap, baik secara finansial maupun mental. Kamu belum menikah di usia 25 tahun, bisa jadi ada hal yang masih di jadikan prioritas utama seperti keluarga, impian, karir, pendidikan atau alasan receh macam "gue masih mau sendiri". Pertimbangan-pertimbangan tersebut sangat personal dan saya pikir tidak semua orang bisa memahami dan menerima.

Kamu akan menikah bukan dengan lingkungan kamu yang bilang perempuan yang belum menikah di usia 25 tahun atau lebih adalah perempuan yang kurang beruntung.

Kamu akan menikah bukan dengan keluarga besar kamu atau teman-teman yang suka resek nanya kapan nikah mulu.

Kamu akan menikah bukan dengan pikiran sempit kamu yang mengatakan belum menikah = nggak laku.

Kamu akan menikah dengan laki-laki pilihan kamu. Yang terbaik. Nggak ada yang namanya menikah telat karena umur. Yang ada hanyalah kamu belum menikah ya simpel karena memang belum waktunya. Dan perlu diingat, nggak semua perempuan dengan mudah memutuskan "Ya, besok saya mau menikah".

Makan tuh centong mejikjer...

.
.
.

Jadi, sebenarnya tulisan ini agak berbau curhat pribadi sih. Hahaha tapi serius loh apa cuma saya doang yang sudah umur 25 tahun tapi kelakuan masih receh nan menggemaskan? * ditipuk*

Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Newer Posts
Older Posts

Categories

  • DRAMA KOREA (5)
  • KATA BICARA (4)
  • RANDOM (1)
  • REVIEW (49)
  • SahabatDifabel (1)
  • SHARING (24)
  • THOUGHT (81)
  • TRAVEL (17)

recent posts

Blog Archive

  • ►  2020 (2)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (3)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (7)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Oktober 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (2)
    • ►  Februari 2018 (2)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ▼  2017 (47)
    • ►  Desember 2017 (3)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (1)
    • ►  September 2017 (5)
    • ►  Agustus 2017 (8)
    • ▼  Juli 2017 (6)
      • REVIEW NOVEL : SOPHISMATA
      • Tentang Kebiasaan Menulis dan Membaca Buku
      • Suatu hari, beberapa hal yang akan aku ceritakan p...
      • Tradisi Kondangan : Kembali Lagi ke Niat
      • Current Mood
      • Perempuan 25 Tahun dan Belum Menikah
    • ►  Juni 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (6)
    • ►  April 2017 (3)
    • ►  Maret 2017 (2)
    • ►  Februari 2017 (5)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (23)
    • ►  Desember 2016 (3)
    • ►  November 2016 (4)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (2)
    • ►  Juli 2016 (3)
    • ►  Juni 2016 (2)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  April 2016 (3)
    • ►  Maret 2016 (1)
    • ►  Februari 2016 (2)
  • ►  2015 (44)
    • ►  Desember 2015 (2)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (4)
    • ►  Juli 2015 (5)
    • ►  Juni 2015 (6)
    • ►  Mei 2015 (15)
    • ►  April 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (3)
    • ►  Februari 2015 (3)
    • ►  Januari 2015 (2)
  • ►  2014 (25)
    • ►  Desember 2014 (2)
    • ►  November 2014 (2)
    • ►  Oktober 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  Agustus 2014 (5)
    • ►  Juli 2014 (4)
    • ►  Juni 2014 (1)
    • ►  Mei 2014 (1)
    • ►  Maret 2014 (3)
    • ►  Februari 2014 (2)
  • ►  2013 (7)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  Agustus 2013 (2)
    • ►  April 2013 (2)
    • ►  Januari 2013 (2)
  • ►  2012 (13)
    • ►  Desember 2012 (2)
    • ►  Oktober 2012 (1)
    • ►  September 2012 (1)
    • ►  Agustus 2012 (4)
    • ►  April 2012 (4)
    • ►  Februari 2012 (1)

Pinterest

Visitors

Followers

Populer Post

  • Review Dilan Bagian Kedua : Dia adalah Dilanku Tahun 1991
    Hai, karena saya lagi "libur" puasa dan kebetulan laptop kakak saya lagi nggak di pake, ijinkan saya melanjutkan kembali posting...
  • Bulan Ramadhan : Waktunya untuk Lebih Intropeksi Diri
    Hai, baru bisa  update posting #30hariproduktifmenulis. Sebenarnya ini murni karena kemalasan saya. Maafkan *salim*. Karena sekar...
  • Pengalaman Belanja Buku Via Online
    Tulisan ini tidak bermaksud untuk mempromosikan sebuah akun... Membeli dan membaca buku adalah salah satu hobi saya yang cukup konsist...
  • Pengalaman Menjalankan Diet GM
    Duh, sebenarnya geli ya bikin postingan tentang diet. Seumur hidup saya nggak pernah menjalankan diet karena badan saya pernah terlalu...
  • Jangan Terjebak Cinta yang Rumit
    Perlu di sadari, kehidupan cinta di kehidupan nyata sangat berbeda dengan kehidupan cinta dalam drama korea. Apapun bisa terjadi ...

Profil

Foto saya
Amelia Utami.
Random blogger. Kadang suka nulis serius, kadang galau, tapi lebih sering curhat.
Lihat profil lengkapku

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates