Diberdayakan oleh Blogger.

Laporkan Penyalahgunaan

REVIEW SHARING THOUGHT TRAVEL

Amelia Utami.

"I never mean to start blogging, I think it's late. But if I didn't start to write, I would never start nothing"

"Gimana kabar kamu?"
"Gimana keadaan kamu?"

Seringkali kita mendapat pertanyaan seperti itu, baik dari teman lama atau sahabat dekat. Seringkali pula template jawaban kita selalu sama, meski dalam kondisi berbeda : alhamdulillah, sehat atau aku baik-baik aja. Dalam kondisi normal, menjawab "baik-baik" saja tentu sangat melegakan. Tidak ada kebohongan. Aura wajah terpancar jelas dari senyum lepas atau ketikan chat yang terbaca menyenangkan.

Lalu, bagaimana seandainya kita sedang tidak baik-baik saja? 

Beberapa hari lalu, Ibu bertanya dengan wajah heran, alasan kenapa saya tidak menangis padahal saya sudah kehilangan salah satu yang terdekat? Apa saya baik-baik saja? Apa saya sebenarnya sedang memendam sesuatu, tapi enggan bercerita? Pertanyaan itu bagi saya tidak mengherankan. Normalnya, orang yang baru saja kehilangan, pasti merasa patah hati dan menangis. Sayangnya, saya malah terlihat biasa saja. Berkegiatan seperti biasa, tertawa, tidur dengan nyenyak, dan makan masih lahap.

Saya jawab, sebenarnya saya tidak baik-baik saja. Setiap malam sebelum tidur, saya suka gelisah. Saya ingin menangis, tapi saya tidak bisa menangis. Saya tidak tahu mengapa air mata saya tidak mau keluar padahal hati saya sedih luar biasa. Ini mungkin yang membuat saya tampak baik-baik saja. Saya kadang sulit mengekspresikan sesuatu karena mungkin saya tipe anak yang terbiasa "dipaksa" legowo.

Mengaku "tidak baik-baik saja" bukanlah sebuah kesalahan atau menunjukkan kita makhluk paling lemah, tak berdaya, rapuh, dan tidak memiliki daya. 

"Saya sedih."
"Saya butuh waktu sendiri."
"Saya butuh teman ngobrol."
"Saya patah hati."
"Saya terpuruk."

Kalimat-kalimat tersebut bisa kita ucapkan secara jujur. Bukan sebuah kelemahan. Hanya menunjukkan bahwa kita manusia biasa. Kita mungkin tak sekuat manusia lain saat menghadapi cobaan hidup, tapi kita tidak boleh menyiksa diri sendiri dengan kebohongan-kebohongan yang semakin menumpuk. Mengaku jujur dengan kondisi kita akan memudahkan menemukan solusi. Berat memang. Tidak semua orang mengerti kondisi kita atau tidak semua orang mau memposisikan sebagai diri kita. But, who's care? Sebelum memikirkan apa kata orang, selamatkan diri kamu dulu. Sama halnya sebelum membahagiakan orang lain, bahagiain dulu diri kamu.

This is also a reminder for myself. 
I'm not ok and that is not a weakness.

Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pinterest
Saya masih ingat kejadian tahun 2012. Tahun paling buruk selama hidup saya dan sialnya saat itu saya masih kuliah semester empat dan tinggal jauh dari orang tua. Diawali dengan sakit flu karena begadang semalaman membaca sebuah novel, besok paginya semua mendadak berubah. Saya merasa seperti bukan diri saya, saya merasa jiwa yang bersemayam di tubuh bukan lah diri saya. Saya tidak mengenali siapa yang ada di dalam.

Pikiran waras saya berontak, tapi selalu berakhir dengan rasa letih luar biasa yang juga tidak saya kenali. Mood turun drastis. Rasanya berat sekali turun dari tempat tidur padahal seharian saya tidak melakukan kegiatan apa pun. Sekali lagi, saya masih berpikir waras. Mungkin saya memang sakit flu. Pergi lah saya ke apotek dekat kampus. Ajaibnya, dokter bilang tidak apa-apa hanya kelelahan saja. Sejujurnya, saya tidak puas dengan jawabannya karena saya merasa tidak lebih baik. Saya justru ketakutan. 

Hari-hari selanjutnya seperti mimpi buruk. Bukan hanya malas beranjak dari tempat tidur, saya juga jadi malas makan, mandi, dan bersih-bersih kamar kost. Cucian baju saya biarkan menumpuk dan kehilangan selera makan. Saya lebih sering menangis karena benar-benar merasa saat itu bukan lah diri saya. Saya suka kerapian dan kebersihan, makan saya lahap, dan saya lebih banyak tertawa. 

Saya masih terus melawan dengan berpikir positif dan bercerita ke teman-teman dekat. Namun, saya akui saat itu tidak banyak yang peduli. Ada yang bilang saya mulai gila. Saya tidak bisa juga menyalahkan mereka karena kondisi saya yang memang tidak stabil. Cerita ke orang tua juga sudah, tapi apa daya mereka juga fokus pada penyembuhan kakak laki-laki saya yang mengidap OCD. 

Saya sendirian. Saya tetap melawan. Meski semakin hari semakin tidak terkendali. Bayangkan, tubuh dan jiwa kamu letih, tapi mata kamu tetap tidak bisa terpejam. Besok paginya seperti keajaiban kamu tidak mengantuk sama sekali. Ya, itu yang saya rasakan. Belum lagi, saya harus tetap tampil seolah baik-baik saja agar kegiatan kuliah saya dan hubungan sosial dengan teman-teman tetap berjalan. Meski beberapa kali setiap mengobrol, saya sering tidak fokus. Atau ketika mengobrol saya merasa senang, tapi begitu sampai tempat kost saya mendadak menangis tanpa sebab. Bahkan saya sempat ada pikiran ingin bunuh diri dengan cara melompat ke salah satu jembatan di Bandung. Sad, but true. Sempat ada dalam kondisi seputus asa itu. Kalau ada yang bilang saya kurang ibadah ya miris banget, karena kenyataannya dalam kondisi mental paling buruk pun saya tidak pernah meninggalkan sholat dan mengaji.

Ada satu hal yang saya sesali hingga detik ini, betapa saya tidak pernah mendapatkan bantuan ahli untuk menemukan jawaban dari rasa "sakit" saya. Terbawa stigma yang mengatakan saya kurang dekat sama Tuhan atau ada dosa yang harus saya tebus. Maka ketika itu, tidak ada pilihan lain. Hal yang bisa saya lakukan hanya sekuat diri melawan semampu saya. Dengan menahan "sakit" dan halusinasi yang mulai muncul, saya berusaha untuk keluar dari situasi kacau. Saya paksa banyak melakukan kegiatan di luar yang membuat saya tidak sendirian. Saya paksa juga sering mengobrol dengan teman-teman kost agar saya tidak banyak melamun. Setiap kali gagal dan berakhir menangis, saya berusaha untuk tetap berkegiatan. Hingga tak terasa saya mulai "lepas" dari semua itu sekitar satu tahun kemudian dan saya merasa sudah normal kembali.

Itu mimpi buruk mengerikan yang tidak mau terulang!

***

Pertanyaannya, apakah saya benar-benar lepas dari perasaan depresi?  Tentu tidak. Namun, saya (sejauh ini) tidak memiliki perasaan "mengerikan" yang membuat saya "lumpuh total" seperti dulu. Bedanya juga, diri ini jauh lebih menerima. Saya tidak mau lagi memaksa diri saya untuk terus melawan, tapi saya ingin selalu menjadi "teman baik" untuk diri saya. Jika perasaan depresi muncul, saya ajak bicara baik-baik. Saya tawarkan dengan menggambar, membaca buku, menulis novel, jajan camilan, atau menonton drama korea yang membuat hati senang. Tidak selalu berhasil, kadang saya juga lemah dan keburu menyerah, hingga berakhir meringkuk di dalam kamar tanpa berkegiatan.

Kok bisa saya masih kelihatan normal, termasuk dalam bekerja dan bergaul dengan orang lain? Tentu saja bisa. Tapi tidak semua paham, bahwa orang dengan kondisi seperti saya kadang bisa "kelelahan" tanpa sebab. Dan yang dapat mengendalikan itu semua tentu saja balik lagi ke diri kita. Kalau memang tidak kuat, sebaiknya menghindar dulu untuk menenangkan diri.

Perlu diakui, suka atau tidak suka, setiap orang memiliki perasaan depresi sendiri akan suatu hal atau dalam menghadapi masalah. Belum lama saya kehilangan Bapak karena sakit. Bukan hanya perasaan yang hancur, tapi menjalani hari rasanya tidak semangat karena tidak ada lagi sosok yang setiap hari ada di rumah. Sosok yang bisa saya lihat, sentuh, atau diajak bicara. Tidak mau lagi terjebak dalam perasaan sedih berlarut-larut hingga pikiran depresi muncul kembali, saya selalu berkompromi dengan diri saya. Meyakinkan setiap hari jika semua sudah Kuasa Allah. Jika ditakdirkan terjadi, saya tidak mungkin bisa mencegah. Sekali lagi, itu tidak mudah. Tapi saya tidak mau menyerah.

Seringkali, saya tidak minta hal yang muluk-muluk seperti saya harus selalu ceria, tidak banyak mengeluh, atau harus selalu produktif setiap hari. Tidak, ada kalanya saya mengembuskan napas, mencerna beberapa kejadian dengan perasaan sedih, atau menangis beneran karena diri ini merasa nggak berharga. Maka saya hanya minta pada diri saya untuk terbiasa menerima. Menerima bukan berarti pasrah pada keadaan, bukan pula tidak mau berusaha. Menerima yang dimaksud seperti..."ya sudah tidak perlu berpikir keras untuk hal-hal yang bikin menyiksa diri". 

Jadi, melawan perasaan depresi itu tidak pernah mudah. Kamu bisa senang ketika berhasil melewati, tapi kamu juga harus siap ketika gagal dan hasilnya tetap belum berubah. 

Tidak apa-apa. 

Coba lagi.
Coba lagi.
Coba lagi.

Tidak perlu dipaksa. Tidak perlu terlalu keras sama diri kamu. Lebih baik pelan-pelan merangkul agar bisa melewati suatu kondisi bersama-sama. 

Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Hallo...
Wah, udah hari ke 2 di tahun 2019.
Gimana udah jalanin list resolusinya? Atau sama kaya tahun kemarin? 😛

Bagi saya sendiri, tahun 2019 tidak memiliki resolusi khusus karena ya...jujur saja tahun 2018 saya banyak menelan kekecewaan, banyak kehilangan, dan banyak mengalami hal-hal yang membuat down. Bersyukurnya, di tahun 2018 saya banyak mengambil keputusan-keputusan hidup dengan berani. Seperti yang pernah saya posting di Instagram, dua keputusan besar di antaranya : mengikuti mentoring menulis novel selama enam bulan (dengan biaya tidak murah 🤪) dan resign dari pekerjaan, kemudian membuka bisnis kecil-kecilan. Alhamdulillah sampai detik ini saya belum menyesalinya hahaha. Kadang-kadang saya takjub sama diri ini. Untuk tipe anak yang "comfort zone" kaya saya, keluar dari "tempurung" adalah sesuatu yang wow. Jadi, boleh lah sesekali saya bangga dengan diri sendiri.

Pencapaian lainnya (meskipun ini kecil) adalah saya sudah belajar masak dan bikin kue, bikin akun watttpad untuk mempublikasikan novel karangan saya, baca buku lebih banyak, sharing review buku di instastory, dan tentunya masih bisa travelling.

Tahun ini saya nggak mau terlalu ambisius. Saya lebih ingin menikmati proses yang saya lalui, menghargai setiap pencapaian kecil saya, melakukan sesuatu yang saya inginkan dan mengusahakannya dengan baik. Kalau rencana saya berhasil, saya bersyukur. Kalau gagal, coba lagi. Kalau dikasih di luar rencana, anggap lah itu bonus dari Allah atas kerja keras di tahun sebelumnya.

Banyak teman saya yang bertanya apakah saya berminat mencari pekerjaan lagi? Saya jawab, nggak menutup kemungkinan. Namun sementara ini saya lebih nyaman dengan keadaan saya sekarang. Apa ya dibilang bebas juga nggak, sih (bokek iya 😂), tapi lebih kepada ide-ide yang ada di kepala ini tersalurkan dengan baik *azeeek bahasanya nggak nahan.

Nothing big goals

Just enjoy, more cheerful, and be happy.
Sama satu lagi, semoga selalu sehat, baik fisik maupun mental.


Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Categories

  • DRAMA KOREA (5)
  • KATA BICARA (4)
  • RANDOM (1)
  • REVIEW (49)
  • SahabatDifabel (1)
  • SHARING (24)
  • THOUGHT (81)
  • TRAVEL (17)

recent posts

Blog Archive

  • ►  2020 (2)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ▼  2019 (3)
    • ▼  November 2019 (1)
      • I'm (not) Ok
    • ►  Oktober 2019 (1)
      • Tidak Mudah Melawan Perasaan Depresi
    • ►  Januari 2019 (1)
      • 2019 : Nothing Big Goals
  • ►  2018 (7)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Oktober 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (2)
    • ►  Februari 2018 (2)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (47)
    • ►  Desember 2017 (3)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (1)
    • ►  September 2017 (5)
    • ►  Agustus 2017 (8)
    • ►  Juli 2017 (6)
    • ►  Juni 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (6)
    • ►  April 2017 (3)
    • ►  Maret 2017 (2)
    • ►  Februari 2017 (5)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (23)
    • ►  Desember 2016 (3)
    • ►  November 2016 (4)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (2)
    • ►  Juli 2016 (3)
    • ►  Juni 2016 (2)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  April 2016 (3)
    • ►  Maret 2016 (1)
    • ►  Februari 2016 (2)
  • ►  2015 (44)
    • ►  Desember 2015 (2)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (4)
    • ►  Juli 2015 (5)
    • ►  Juni 2015 (6)
    • ►  Mei 2015 (15)
    • ►  April 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (3)
    • ►  Februari 2015 (3)
    • ►  Januari 2015 (2)
  • ►  2014 (25)
    • ►  Desember 2014 (2)
    • ►  November 2014 (2)
    • ►  Oktober 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  Agustus 2014 (5)
    • ►  Juli 2014 (4)
    • ►  Juni 2014 (1)
    • ►  Mei 2014 (1)
    • ►  Maret 2014 (3)
    • ►  Februari 2014 (2)
  • ►  2013 (7)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  Agustus 2013 (2)
    • ►  April 2013 (2)
    • ►  Januari 2013 (2)
  • ►  2012 (13)
    • ►  Desember 2012 (2)
    • ►  Oktober 2012 (1)
    • ►  September 2012 (1)
    • ►  Agustus 2012 (4)
    • ►  April 2012 (4)
    • ►  Februari 2012 (1)

Pinterest

Visitors

Followers

Populer Post

  • Review Dilan Bagian Kedua : Dia adalah Dilanku Tahun 1991
    Hai, karena saya lagi "libur" puasa dan kebetulan laptop kakak saya lagi nggak di pake, ijinkan saya melanjutkan kembali posting...
  • Bulan Ramadhan : Waktunya untuk Lebih Intropeksi Diri
    Hai, baru bisa  update posting #30hariproduktifmenulis. Sebenarnya ini murni karena kemalasan saya. Maafkan *salim*. Karena sekar...
  • Pengalaman Belanja Buku Via Online
    Tulisan ini tidak bermaksud untuk mempromosikan sebuah akun... Membeli dan membaca buku adalah salah satu hobi saya yang cukup konsist...
  • Pengalaman Menjalankan Diet GM
    Duh, sebenarnya geli ya bikin postingan tentang diet. Seumur hidup saya nggak pernah menjalankan diet karena badan saya pernah terlalu...
  • Jangan Terjebak Cinta yang Rumit
    Perlu di sadari, kehidupan cinta di kehidupan nyata sangat berbeda dengan kehidupan cinta dalam drama korea. Apapun bisa terjadi ...

Profil

Foto saya
Amelia Utami.
Random blogger. Kadang suka nulis serius, kadang galau, tapi lebih sering curhat.
Lihat profil lengkapku

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates