Diberdayakan oleh Blogger.

Laporkan Penyalahgunaan

REVIEW SHARING THOUGHT TRAVEL

Amelia Utami.

"I never mean to start blogging, I think it's late. But if I didn't start to write, I would never start nothing"

Source : twitter

Dua hari lalu, cuitan itu muncul di timeline saya. Tidak main-main datang dari penulis terkenal yang karyanya sudah tidak diragukan. Kenapa kok saya langsung tahu platform menulis dan tabloid yang dimaksud? Yup, karena cerpen saya beberapa bulan lalu diterbitkan di sana. Dan benar adanya bahwa tidak ada honor bagi penulisnya. Dipostingan ini saya tidak mau ikut mengkritisi atau mendadak menyerang salah satu pihak yang disebutkan. Ada dua alasan :
  1. Saya masih terikat kontrak kerja sama dengan platform menulis tersebut. Kerja samanya legal alias ada surat perjanjian resmi yang ditandatangani dan bermaterai. Saya juga punya hubungan baik dengan salah satu editor di sana karena saya pernah ikut program mentoring novel bersama beliau. Dan saya akui, banyak manfaat yang saya dapat. Berkat bantuan beliau juga karya saya bisa terbit secara daring dengan status premium. Pembagian royaltinya jelas dan saya sudah pernah mencairkannya (lumayan untuk tambahan jajan hehe)
  2. Saat saya mengirimkan cerpen itu, jujur saja saya tidak kepikiran honor. Saya awalnya ingin men-challenge apakah tulisan saya layak terbit dengan melalui tahap suntingan editor. Salahnya, saya memang tidak bertanya terkait honor (meskipun tidak ada dalam tujuan utama saya, sebagai penulis saya memiliki hak untuk bertanya). Dan sayangnya,  editor tidak memberitahu juga (apakah karena saya tidak bertanya? Mungkin saja). Buktinya, saat saya bertanya, beliau menjawab dengan lugas. Tidak ada honor.
Apakah ada rasa kecewa? Saya tidak menampik. Namun, kembali lagi ke tujuan awal. Saat cerpen diterbitkan cetak kali pertama, ada perasaan senang dan bangga. Ada karya fisik yang bisa saya perlihatkan pada ibu saya dan tentu saja pembaca di seluruh Indonesia. Cerpen itu saya buat tidak asal. Jadi, ketika terbit (walaupun tidak mendapat honor), saya tidak langung insecure bahwa karya saya tidak layak dibaca. 

Nah, balik lagi ke persoalan, bagaimana penulis pemula (seperti saya juga) memperlakukan karya kami? Ada yang bilang tujuan menulis bukan hanya soal uang. Ya ada betulnya. Makanya saya pernah buat cuitan kalau tujuan orang menulis itu beda-beda : ada yang cuma hobi aja (kemungkinan besar si penulis memiliki pekerjaan tetap sehingga soal honor tidak jadi soal, toh menulis bukan pekerjaan utama), ada yang cuma sharing sebagai bentuk pelampiasan perasaan, atau ada yang memang benar-benar menjadikan menulis sebagai pekerjaan utama sehingga untuk kategori penulis ini honor dan royalti bukan lagi sebuah tujuan, tapi yang memberinya makan dan kebutuhan hidup lain. Khusus terakhir, setidaknya sudah memiliki karya yang dikenal dan penggemar sendiri sepertinya.

Struggle penulis pemula seperti saya adalah bagaimana cara saya meloloskan karya untuk diterbitkan? Bukan hanya berbentuk daring, tetapi juga berbentuk fisik. Itu adalah gerbang karya bisa dikenal secara luas. Karena saya sendiri sering bergelut pada pemikiran : sudah pantaskah tulisan saya mendapatkan honor? Bukankah saya masih banyak kekurangan? Sehingga ketika ada yang berminat menerbitkan, pikiran saya bukan lagi tertuju pada honor, tapi pada rasa bangga. Ini yang mungkin disebut terlalu idealis. Padahal, honor adalah hak penulis ketika karyanya berhasil diterbitkan. Honor juga bisa jadi sebagai pemicu semangat agar semakin banyak berkarya. Wow, berubah jadi realistis hehe.

Setelah saya menulis panjang kali lebar, saya mendapatkan kesimpulan, seandainya saya mengirimkan tulisan kembali, tentu saja kepada media yang menghargai hak penulis. Kalau mau menerbitkan gratis, ya lebih baik di blog pribadi.

Intinya, jangan kapok menulis.
Tertanda,
Penulis pemula yang sudah sering ditolak penerbit dan media lain, tapi tetap aja menulis. Mencoba berhenti, tapi nggak pernah lama. Akhirnya, balik lagi menulis karena kadung cinta (ceila).


Love,
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Tidak terasa sudah lima bulan Bapak meninggalkan kami untuk selamanya. Jika itu terjadi saat usia saya masih kecil, mungkin saya tidak akan sekuat sekarang dalam menghadapinya. Mungkin saya akan meraung setiap hari, tidak berhenti bertanya keberadaan Bapak, hingga perasaan sedih yang meninggalkan luka mendalam. Allah itu adil dalam memberi cobaan pada hambanya. Satu paket dengan hikmah yang tidak pernah dipikirkan oleh manusia. Kehilangan salah satu orang tua di usia dewasa tidak memberikan saya banyak waktu untuk bersedih. Ada tanggung jawab besar yang menghadang lebih dari sekadar meratapi nasib : menjaga Ibu agar tetap sehat dan bahagia, merawat hubungan kakak adik agar semakin dekat, hingga memotivasi diri sendiri agar melanjutkan hidup lebih baik.

Hubungan saya dan bapak jauh dari kata sempurna. Sebagai anak, saya masih banyak kekurangan. Begitu juga Bapak sebagai orang tua. Perbedaan itu seringkali dalam beberapa hal menimbulkan selisih paham, sikap keras kepala dalam mempertahankan pendapat, dan mengurut dada karena tak sabar menahan emosi. Saya ingat di tahun 2017 kami tak saling bicara selama tiga hari. Hanya karena masalah ta’jil buka puasa yang telat disajikan. Bapak tiba-tiba marah  dan kami terpancing ikut-ikutan marah. Bapak “kabur” menginap di rumah nenek saya karena mungkin merasa kesal. Dampaknya melebar, yaitu Bapak tidak mau mengantar saya ke kantor dan tidak mau bicara dengan kami.

“Orang udah tua kok kelakuannya masih kaya bocah!”

Ya, saya pernah berkata demikian. Saya mempertahankan sifat “keras kepala” dengan satu alasan : saya benar dan tidak melakukan kesalahan. Saya ingin menjadi anak yang tidak hanya “diam” saat orang tua marah dengan alasan yang tidak masuk akal. Sebagai anak, saya memiliki hak membela diri. Tidak peduli siapa yang sedang dihadapi. Namun, pada akhirnya saya menyesal. Sebenarnya kami hanya butuh saling pengertian karena kami bukan tipikal orang yang suka berkata manis dalam mengekspresikan sesuatu. Bapak mungkin tidak tahu cara (atau gengsi) mengatakan tolong, maaf, atau terima kasih. Sementara kami (anak-anak dengan pemikiran yang jauh lebih modern) membutuhkan tiga kata penting itu demi tidak menyimpan luka batin berkepanjangan.

Komunikasi adalah hal terbesar yang mengganggu hubungan saya dan bapak. Lain hari, saya merasa kecewa dengan kata-kata yang beliau lontarkan. Juga dengan perbandingan-perbandingan yang mengecilkan hati saya sebagai anak karena merasa tidak dihargai. Stigma anak harus nurut dan orang tua selalu benar bagai pakem yang tidak bisa diubah, meski saya sudah melawan sekuat tenaga. Pada akhirnya, saya tetap mengalah karena tidak mau dianggap anak durhaka. Tapi jika direnungkan lagi dari sisi Bapak, mungkin ada banyak hal terlewat yang menyebabkan Bapak tidak luwes dalam menunjukkan kasih sayangnya pada anak. Kejadian masa lalu bisa jadi penyebabnya.

Bapak pernah bercerita, semasa hidupnya lebih banyak melewati hal-hal yang berat ketimbang moment-moment bahagia. Bapak bukan berasal dari keluarga kaya, tapi Bapak jelas pejuang hidup paling hebat. Bapak pernah makan telur ceplok dibagi dua dengan kakaknya, pernah berhenti sekolah selama setahun karena tidak ada biaya dan harus mengalah bergantian dengan saudaranya, serta pernah berjualan buah-buahan di stasiun kereta. Saking kerasnya kehidupan, mungkin Bapak tidak sempat merasakan kasih sayang dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Sehingga yang lebih sering keluar adalah sisi buruknya, ketimbang sisi lembutnya yang saya percaya jauh lebih banyak.

Saya pernah bilang ke salah satu teman, Bapak adalah orang paling galak, tapi Bapak juga orang yang sering membuat saya menangis hanya karena menatap wajahnya. Kedengarannya tidak masuk akal, apalagi jika sudah kesal dengan ucapan Bapak, saya bisa kecews sampai tidak mau keluar kamar. Namun, di moment-moment tertentu, ikatan batin ayah dan anak tidak bisa dibohongi. Bapak tetap terbaik. Bapak tidak bisa digantikan oleh laki-laki manapun.

Ketika saya sakit, orang yang siaga mengantar ke dokter 24 jam adalah Bapak. Ketika saya membutuhkan jemputan malam-malam setelah berpergian, Bapak rela menahan kantuk agar bisa mengantar saya selamat sampai rumah. Ketika hujan turun deras, Bapak rela menjemput dan mengantar saya ke kantor hanya bermodalkan jaket tipis. Sampai beberapa hari sebelum beliau meninggal, Bapak masih sempat menjemput saya ke kantor dan memastikan saya pulang dengan selamat. Ketika ada laki-laki yang main ke rumah, saya tahu beliau khawatir laki-laki itu tidak baik, tapi beliau tidak mau saya kecewa. Jadi, beliau hanya diam dan pura-pura bersikap galak.

Begitu juga dengan saya. Semarah-marahnya pada Bapak, saya tidak pernah tega membiarkan orang lain melukai hatinya. Setiap Bapak sakit, diam-diam saya pergi ke kamar hanya untuk mengecek apakah Bapak masih bernapas atau tidak. Saya kelihatannya anak yang cuek, tapi saya diam-diam khawatir jika Bapak belum pulang ke rumah atau Bapak pergi tanpa kabar. Lagi-lagi bentuk kasih sayang itu tidak bisa saya ungkapkan lewat kata-kata langsung. Hanya berupa tindakan yang Bapak juga tidak pernah tahu. Maka tidak heran, Bapak sering bilang, saya tipe anak yang tidak peduli. Padahal setiap berdoa, nama beliau tidak pernah absen dari mulut saya. Meski dalam beberapa hal sikap Bapak menyebalkan, tapi saya selalu mencoba memberi perhatian kecil pada beliau.

Sebelum usia dewasa dan memasuki keras kepala, hubungan kami sesungguhnya jauh lebih hangat. Moment yang tidak akan saya lupakan adalah Bapak tidak pernah lupa membelikan kami oleh-oleh setiap pulang dinas kerja dari Lembang. Bapak adalah pekerja keras. Lebih dari puluhan tahun bolak-balik kerja Jatibarang-Cirebon hanya mengendarai motor. Kami sering meledek kulitnya berubah hitam karena sering terkena sinar matahari. Tapi dari tangan gigih Bapak, kami semua bisa kuliah di luar kota dan berhasil menyandang gelar sarjana. Sesuatu yang tidak bisa Bapak capai karena kendala biaya dan keadaan.

Ibu pernah cerita, Bapak tidak pernah mengambil cuti kerja karena lebih baik uang cutinya dipergunakan untuk biaya pendidikan. Kami pernah melewati masa-masa keuangan yang sulit hingga tidak punya kesempatan untuk pergi wisata atau membeli barang-barang canggih. Sampai akhir hidupnya, Bapak hanya memiliki ponsel nokia yang masih saya simpan hingga sekarang. Beliau belum sempat menyaksikan video youtube lebih lama, berkirim pesan lewat WhatsApp, atau mencari berita lewat pencarian google. Ketika saya berhasil membeli HP baru dari hasil berjualan baju secara online, Bapak sempat berkata : “Tadi-tadi HP lamanya buat Bapak aja.” Nada bicaranya bercanda, tapi saya tahu beliau menginginkannya.

Meski hubungan kami tak selalu harmonis, Bapak tetap meninggalkan memori indah bagi saya. Ketika beliau selesai membersihkan rumah, Bapak selalu bertanya pada saya : “Dapet nilai berapa, Mi?” dan saya pasti selalu menjawab dengan nilai sembilan karena Bapak memang paling apik dan rajin dalam membersihkan rumah. Saat beliau sudah tidak ada, tugas itu saya teruskan. Saya pastikan kaca jendela rumah selalu bersih, rumput di halaman dipangkas secara teratur, bunga-bunga disiram, dan mengepel lantai sesering yang beliau lakukan. Beliau juga rajin sekali sholat subuh berjamaah di Masjid, maka sebisa mungkin kami meneruskannya. Raga Bapak boleh saja pergi, tetapi kebiasaan baik Bapak saya pastikan tidak akan pernah hilang. Membayangkan Bapak sedang duduk di alam sana dengan tenang adalah upaya yang akan selalu kami lakukan.

Tidak ada orang tua yang sempurna, tapi Bapak mengajarkan satu hal : cinta anak pada orang tua akan abadi selamanya.



Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Categories

  • DRAMA KOREA (5)
  • KATA BICARA (4)
  • RANDOM (1)
  • REVIEW (49)
  • SahabatDifabel (1)
  • SHARING (24)
  • THOUGHT (81)
  • TRAVEL (17)

recent posts

Blog Archive

  • ▼  2020 (2)
    • ▼  November 2020 (1)
      • Dilema Penulis Pemula
    • ►  Januari 2020 (1)
      • Mengenang Bapak (Bagian 1) : Hubungan Tidak Sempurna.
  • ►  2019 (3)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (7)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Oktober 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (2)
    • ►  Februari 2018 (2)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (47)
    • ►  Desember 2017 (3)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (1)
    • ►  September 2017 (5)
    • ►  Agustus 2017 (8)
    • ►  Juli 2017 (6)
    • ►  Juni 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (6)
    • ►  April 2017 (3)
    • ►  Maret 2017 (2)
    • ►  Februari 2017 (5)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (23)
    • ►  Desember 2016 (3)
    • ►  November 2016 (4)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (2)
    • ►  Juli 2016 (3)
    • ►  Juni 2016 (2)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  April 2016 (3)
    • ►  Maret 2016 (1)
    • ►  Februari 2016 (2)
  • ►  2015 (44)
    • ►  Desember 2015 (2)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (4)
    • ►  Juli 2015 (5)
    • ►  Juni 2015 (6)
    • ►  Mei 2015 (15)
    • ►  April 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (3)
    • ►  Februari 2015 (3)
    • ►  Januari 2015 (2)
  • ►  2014 (25)
    • ►  Desember 2014 (2)
    • ►  November 2014 (2)
    • ►  Oktober 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  Agustus 2014 (5)
    • ►  Juli 2014 (4)
    • ►  Juni 2014 (1)
    • ►  Mei 2014 (1)
    • ►  Maret 2014 (3)
    • ►  Februari 2014 (2)
  • ►  2013 (7)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  Agustus 2013 (2)
    • ►  April 2013 (2)
    • ►  Januari 2013 (2)
  • ►  2012 (13)
    • ►  Desember 2012 (2)
    • ►  Oktober 2012 (1)
    • ►  September 2012 (1)
    • ►  Agustus 2012 (4)
    • ►  April 2012 (4)
    • ►  Februari 2012 (1)

Pinterest

Visitors

Followers

Populer Post

  • Review Dilan Bagian Kedua : Dia adalah Dilanku Tahun 1991
    Hai, karena saya lagi "libur" puasa dan kebetulan laptop kakak saya lagi nggak di pake, ijinkan saya melanjutkan kembali posting...
  • Bulan Ramadhan : Waktunya untuk Lebih Intropeksi Diri
    Hai, baru bisa  update posting #30hariproduktifmenulis. Sebenarnya ini murni karena kemalasan saya. Maafkan *salim*. Karena sekar...
  • Pengalaman Belanja Buku Via Online
    Tulisan ini tidak bermaksud untuk mempromosikan sebuah akun... Membeli dan membaca buku adalah salah satu hobi saya yang cukup konsist...
  • Pengalaman Menjalankan Diet GM
    Duh, sebenarnya geli ya bikin postingan tentang diet. Seumur hidup saya nggak pernah menjalankan diet karena badan saya pernah terlalu...
  • Jangan Terjebak Cinta yang Rumit
    Perlu di sadari, kehidupan cinta di kehidupan nyata sangat berbeda dengan kehidupan cinta dalam drama korea. Apapun bisa terjadi ...

Profil

Foto saya
Amelia Utami.
Random blogger. Kadang suka nulis serius, kadang galau, tapi lebih sering curhat.
Lihat profil lengkapku

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates