Diberdayakan oleh Blogger.

Laporkan Penyalahgunaan

REVIEW SHARING THOUGHT TRAVEL

Amelia Utami.

"I never mean to start blogging, I think it's late. But if I didn't start to write, I would never start nothing"

Kalau udah pernah liat drama korea Producers pasti tau deh dengan tokoh Cindy yang di perankan oleh artis cantik IU. Nah, Cindy ini punya hobi mewarnai kalau dia lagi nggak ada job (ceritanya doi penyanyi) atau kalau dia lagi stress.
Awalnya saya pikir ko kaya anak-anak ya hobinya. Tapi ternyata kegiatan mewarnai sekarang sedang trend di kalangan orang dewasa. Bukan hanya sekedar ikut-ikutan, tapi secara psikologi, mewarnai dapat meredakan stress, kecemasan dan penat, terutama bagi karyawan seperti saya yang kerjanya selalu menggunakan otak kiri. Untuk lebih jelasnya bisa baca disini.

Sekarang buku mewarnai untuk dewasa sudah banyak beredar di toko buku, baik membeli langsung atau lewat online. Banyak tema dan covernya yang menarik. Serius deh, saya aja rasanya pengen memborong semua. Gemes-gemes ilustrasi covernya! (Tuh bayangin, baru liat covernya aja udah happy!). 

Pilihan saya jatuh pada The Magical City terbitan Gramedia. Alasannya karena bukunya besar jadi puas mewarnainya, illustrasinya juga kayanya akan "saya banget" karena imajinasi saya serasa akan di ajak jalan-jalan beneran. Soal harga, relatif mahal tapi it's ok dengan isi 100 halaman. Walaupun saya harus kecewa karena buku tersebut stoknya kosong di toko buku online langganan saya. Akhirnya saya pilih buku colouring dari Penerbit Haru. Hmmm saya baru denger nih nama penerbitnya. Tapi karena di iming-imingi diskon 30% karena baru terbit di tambah cover dan judulnya oke, yaitu Once Upon A Time. Illustrasinya pasti tentang negeri dongeng nih! Sip, menarik.

Penampakan bukunya. Bonus stiker, loh. Hehe

Illustrated by :
Irene Ritonga 

68 Halaman

Penerbit Haru

Harga : Rp. 45.500 (30%)

bukabuku.com


REVIEW

Cover, judul dan tema menarik bagi saya. Untuk harga standar ya di bandingkan buku colouring dari illustrator luar. Ilustrasinya yang sudah saya duga, gemas-able banget! Rasanya pengen di warnain cepet-cepet semuanya. Oh ya, untuk gambar bolak-balik ya. Awalnya saya pikir akan tembus setelah di warnai, ternyata nggak! Kertasnya tebal, jadi kalau mau mewarnai pake spidol atau crayon nggak akan tembus kayanya. Ukurannya yang nggak lebar dan jumlah halamannya yang nggak banyak, bikin buku ini nyaman di bawa kemana-mana. Yang mengganggu hanya satu yaitu buku ini fisiknya kaya buku bacaan, yaitu lemnya rekat banget. Kalau buku bacaan sih nggak masalah, toh isinya tulisan. Kalau buku mewarnai? Hmmm agak mengganggu ya ketika membalikkan halaman selanjutnya. Jadi, mewarnainya kurang leluasa.




Untuk pensil warna, saya pilih Faber Castell (ini bukan promosi ya haha) isi 36. Lumayan lengkap warnanya dan untuk kualitas silakan menilai sendiri.



Sekian review-nya dan HAPPY COLOURING!!!! :)


Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kebetulan banget ini hari kamis alias malam jumat. Kalau di twitter sih nanti malem pasti rame main hastag #memetwit, yaitu orang-orang yang cerita tentang pengalamannya bertemu dengan makhluk halus. Berhubung gue orangnya agak penakut, jadi memutuskan untuk cerita di siang bolong. Alasannya? ya menurut eloooooo?

Sebenarnya gue nggak di anugerahi bisa "melihat" yang begitu (puji Tuhan bersyukur banget dan amit-amit jangan sampai ketemu), tapi gue kadang-kadang sensitif denger suara "mereka". Macam-macam bentuk suaranya. Dan gue nggak bisa mastiin juga sih kalau itu "mereka". Ya bisa aja tikus, benda jatuh atau suara tetangga gue. Tapi suara yang selama ini gue denger sih, gue jamin itu "mereka".

****

Pengalaman pertama denger suara begitu sekitar umur delapan atau sembilan tahun. Gue lupa persisnya. Yang jelas waktu itu rumah gue belum semodern sekarang, masih model rumah tahun 90'an dengan jendela nako dan kaca yang besar-besar. Nah, di samping rumah gue itu ada tanah kosong. Nggak luas. Karena di depannya itu ada rumah pemiliknya. Kalau gue bilang sih itu kaya halaman rumah tapi agak nggak keurus aja. 

Ceritanya malem hari (ya iyalah kalau siang mana ada!). Jadi gue waktu kecil tidurnya bertiga sama teteh dan ibu di kamar tengah. Kamar itu persis berhadapan banget sama tanah kosong itu. Jadi gue sering denger tetangga gue nyapu atau ngobrol. Gue kebangun tengah malem karena denger suara perempuan ketawa. Ketawa keras yang ngikik-ngikik. Dan tawanya keputus-putus. Gue dengerin aja sambil nutupin muka gue pake bantal. Suaranya kedengeran sampai tiga kali. Setelah itu....blas. Nggak ada lagi. Gue yang waktu itu masih polos nggak ngerti itu suara apaan sampai pagi harinya gue cerita ke teteh, dan ternyata....teteh dan ibu juga denger. Dan katanya udah biasa. Secara di situ juga ada kandang ayam dan biasanya "mereka" itu nakut-nakutin si ayam. Gue juga nggak paham sih. Gue cuma bisa bengong karena sebenarnya tanah kosong itu tempat favorit gue kalau lagi main petak umpet malem-malem -_____-'".Oh ya, sekarang tanah kosong itu udah di bangun rumah.

Pengalaman kedua waktu gue kelas dua SMP. Waktu SMP kan gue ikut eskul paskibra dan waktu itu mau ngadain kemping di Cibulan, Kuningan. Sebenarnya ini bukan acara resmi sekolah, tapi acara internal eskul yang dapet izin dari sekolah. (ribet!). Kita janjian di sekolah dari jam sepuluh pagi untuk briefing dan bla bla. Rencananya kita berangkat siang karena nggak mau sampai sana kesorean. Secara jarak Jatibarang-Kuningan sekitar tiga jam. Belum lagi naik ke tempat kemahnya yang katanya di daerah pegunungan. 

Jam dua siang mobil yang mau membawa kita belum dateng-dateng juga. Entah kenapa waktu itu gue punya firasat nggak enak. Gue udah mau batalin ikut tapi ngak enak sama temen-temen yang lain. Setelah nunggu lumayan lama, akhirnya mobilnya dateng jam....tiga sore. Di perjalanan kita nyanyi-nyanyi, ngobrol dan...tidur. Begitu bangun, matahari udah tenggelam dan kita belum sampai juga. Gue mulai panik. Dari kecil gue paling nggak demen naik-naik daerah pegunungan saat matahari udah tenggelam. Ya you know lah.

Sekitar jam setengah tujuh malam, mobil berhenti di depan rumah besar. Rupanya jalan kecil di samping rumah itu adalah patokan jalan masuk menuju perkemahan Cibulan. Yang artinya kita harus jalan kaki menuju tempat kemah. Gue pikir tempat perkemahannya itu deket, jadi okelah nggak masalah jalan kaki juga. Lagian rame-rame ini. 

Eh tapi ternyata......
Track jalannya itu kaya naik gunung, bo! Naik-naik terus. Hampir nggak ada jalanan datar. Gue dan temen-temen lainnya harus ekstra hati-hati jalannya sambil bergandengan tangan, karena jalannya bener-bener curam, gelap dan yang pegang lampu senter cuma beberapa orang. Jalanan makin naik, nafas gue mulai tersengal-sengal. Sedikit-sedikit berhenti dan setiap kali berhenti, yang gue liat cuma jalanan gelap. Nggak ada tanda-tanda orang kemah. Firasat gue makin nggak enak karena kita udah jalan hampir satu jam dan belum sampai-sampai ke tempat perkemahan, sedangkan hari makin gelap, perut laper dan tenaga udah hampir abis karena cape di jalan. 

Usut punya usut, ternyata kita salah jalan euy...
Pelatih gue agak-agak lupa sama rute jalannya karena waktu survey itu siang, sedangkan kita sampai pada malam hari. Gue akhirnya mulai tumbang, nafas gue rasanya udah mulai abis. Gue minta istirahat sebentar di tanah datar sambil kakinya di pijitin sama salah satu pelatih gue. Baru aja beberapa menit duduk, sayup-sayup dari arah belakang gue kedengeran suara anak laki-laki kecil lagi nangis. Gue liat sekeliling gue, temen-temen gue pada cuek. Mereka lagi minum dan istirahat juga. Gue akhirnya diem aja, karena mungkin itu cuma perasaan gue aja. 

Sebagian temen-temen gue memutuskan untuk jalan duluan, sebagian lagi tetap istirahat. Suara orang nangis di belakang gue makin deket dan kenceng. Gue mulai gemeteran. Nggak berani nengok ke belakang. Masalahnya nggak mungkin banget ada anak kecil di tengah pegunungan kaya gini. Malem-malem lagi. Dan di belakang gue itu kalau nggak salah tebing jurang. Gue mulai kesel ke temen-temen gue yang masih pada cuek. Masa sih mereka nggak denger? padahal suara tangisnya itu kenceng banget, cenderung memilukan. 

Akhirnya gue memutuskan untuk jalan. Pelatih gue kaget karena kaki gue masih kram. Tapi gue nggak peduli. Mending kaki gue kram daripada denger suara orang nangis mulu tapi nggak jelas sumbernya darimana. Makin gue jauh jalan, suara nangis itu makin nggak kedengeran. Kami akhirnya tiba di tempat perkemahan yang aslinya sih rame banget. Kita bikin tenda, beres-beres, masak, makan dan langsung tidur. Pagi harinya gue udah lupa sama suara serem itu karena di suguhi oleh pemandangan air terjun yang menakjubkan.


****

Itu cuma sebagian pengalaman sih, sebenarnya ada cerita lagi tapi nanti deh kapan-kapan gue ceritain. Ini aja gue ngetiknya sambil nengok kanan kiri. Huahahahaha.

Love.
Amelia Utami.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pekerjaan sudah di dapat, walaupun tidak sesuai dengan minat dan bakat, tapi saya masih merasa nyaman. Karena apa? karena uang salary hampir selalu saya habiskan untuk menyalurkan hobi saya, seperti membeli buku, membeli barang-barang perintilan untuk mendekor kamar dan sisanya saya tabungkan untuk bekal travelling. Ditambah saya memiliki rekan-kerja yang baik. Dengan semua itu harusnya sih saya sudah puas dan cukup happy, tapi kenyatannya hati saya masih terus mencari. Mencari sesuatu yang harusnya "masih" bisa saya kejar. Kamu boleh bilang saya masih belum ikhlas, kurang bersyukur atau serakah. Terserah, sih. Tapi itu yang akhir-akhir ini saya rasakan.

Dan puncaknya, saat Defbry menelfon dan kita nggak sengaja ngobrolin topik ini. Saya bilang :

"Aku ini bingung sebenarnya mau jadi apa".

"Loh, kan udah kerja?"

"Iya, tapi kurang puas sama management-nya".

"Yaudah resign".

"Terus mau cari kerja apalagi?".

Kerja sesuai dengan minat itu nggak mudah. Butuh waktu yang lama, konsistensi, fokus dan nggak boleh menyerah. Baru keberuntungan itu datang. Sedangkan kerja nggak sesuai minat juga nggak mudah, butuh semangat baja dan hati yang lapang. Dan saya berada di tengah-tengah. Lebih parah. Karena saya tidak bisa mengambil keputusan yang tegas. Galau. Mau melangkah kesana takut nyesel. Mau tetap bertahan takut kesiksa.

Akhirnya Defbry jawab begini :

"Yaudah kerjain aja apa yang kamu bisa sekarang".

"Iya".

"Kerjain apa yang udah di mulai".

"Iya".

"Tetep berpikir positif, maka yang akan datang pada kita adalah hal-hal yang positif juga".

"Iya"

Sebelumnya sempat berpikir, apa saya kurang beruntung ya? tapi buru-buru pikiran itu di tepis. Alih-alih buruk sangka sama Sang Pengatur Hidup, benar kata Defbry, lebih baik saya intropeksi diri sambil terus belajar. Nggak masalah terus mencari, toh kalau itu memang "milik" kita, pasti segala sesuatunya akan di tunjukkan. 

Be positive!

Love.
Amelia Utami.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Saat saya masih duduk di bangku SD, saya membayangkan bagaimana rasanya menjadi murid SMP. Kemudian setelah merasakan, kembali saya membayangkan bagaimana rasanya menjadi murid SMA, kemudian menjadi mahasiswa dan bekerja. Apakah saya akan mengalami banyak kesulitan ketika menjalankannya atau semua fase itu berlalu begitu saja tanpa banyak hambatan, hanya menyisakan kenangan indah dan kurang indah yang tidak bisa di hindarkan.

Kenyataanya, tumbuh menjadi dewasa tidaklah mudah, namun tidaklah juga sulit. Tergantung bagaimana kita menghadapinya dan bagaimana kita dapat melihat dari berbagai sisi. Bukan hanya sisi positif saja berupa catatan kebaikan-kebaikan kita, tapi juga sisi negatif yang akan membuat kita belajar tentang hal-hal yang tidak terduga.

Sekarang umur saya sudah 23 tahun. Umur yang katanya sudah mulai masuk tahap dewasa. 23 tahun yang menurut saya cukup "mengejutkan", tapi juga terasa biasa-biasa saja tanpa banyak perubahan berarti. 23 tahun yang bagi saya tidak pernah di bayangkan akan seperti apa, akan menjadi apa dan akan terjadi apa. Banyak hal-hal tentunya di luar dugaan saya. Tidak jarang membuat saya sedih, kecewa, marah, bahkan sampai pada titik yang terpuruk. Banyak keinginan yang tidak terwujud, harapan-harapan yang tidak tersampai bahkan mimpi-mimpi yang masih menggantung. 

Pada satu titik saya berpikir : "Oh ternyata seperti ini permasalahan yang di hadapi oleh orang dewasa". Bukan hanya sekedar permasalahan cinta atau bingung memilih model sepatu, tapi jauh lebih kompleks dari itu. And yeah life is school, we all are students (88 Love Life).

Tumbuh menjadi dewasa berarti harus berhati-hati dalam mengambil keputusan, karena keputusan kecil saja bisa berdampak bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk beberapa tahun ke depan. Bukan berarti saya takut untuk berani melangkah. Hanya saja ada beberapa pertimbangan yang harus di pikirkan matang-matang.

Tumbuh menjadi dewasa berarti harus belajar berlapang dada jika keinginan saya tidak terwujud. Ada hal-hal yang memang bukan "milik" saya dan saya harus lebih percaya akan ada banyak hal yang lebih baik kedepannya.

Tumbuh menjadi dewasa bukan berarti terbebas dari kesalahan. Saya kadang bertindak tanpa berpikir, berbicara tanpa merasakan, mempercayai orang dengan mudah dan melakukan banyak kesalahan. I admit it and want to learn to correct that mistake, isn't that the point? dan jangan terburu-buru untuk menghakimi kesalahan orang lain. Learn to listening their reason.

Tumbuh menjadi dewasa harus bisa memilih mana masalah yang dapat di bagi ke orang lain, mana masalah yang cukup di simpan untuk diri sendiri. Bukan untuk sok tegar, tapi terlebih karena menyimpannya jauh membuat diri saya lebih baik. 

Tumbuh menjadi dewasa harus berusaha kuat untuk berdiri dengan kaki sendiri, tidak selalu bergantung pada orang lain. Belajar untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan sendiri. 

Sampai detik ini saya juga masih merasa gamang dan bingung, lebih tepatnya cemas jika apa yang sudah saya kerjakan hari ini atau keputusan yang sudah saya ambil akan membuat saya menyesal di kemudian hari. Namun, di sisi lain saya banyak bersyukur karena masih di beri kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang ada di depan mata saya, serta berani mewujudkan mimpi saya pelan-pelan. Saya tau, saya tidak akan sendirian. Saya memiliki orang-orang yang menyayangi saya. Saya memiliki diri saya yang kuat dan percaya diri.

Dan pada akhirnya waktu tetap berjalan, usia semakin bertambah dan kita akan menjadi tua. Yang dapat di pikirkan bukan lagi kita yang akan tumbuh dewasa, tapi hal-hal terbaik apa yang dapat kita lakukan untuk hidup kita :)

Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Hai, ketemu lagi! :)

Waktu saya masih menjadi pengangguran, saya pernah janji pada diri saya sendiri untuk menulis posting ketika saya sudah bekerja and finally it's time....udah lumayan telat sih ya sebenarnya, tapi ada beberapa alasan kenapa saya menunda terus memposting hal ini. 
Yang pertama, saya bekerja dari hari Senin-Sabtu. Punya hari libur cuma hari minggu, itu juga di pake buat istirahat full di rumah atau sekedar bermalas-malasan. Kapan lagi kan, ya? 
Yang kedua, karena bagi saya bekerja adalah hal yang paling saya tunggu selama hampir satu tahun ini, jadi begitu kesempatan itu datang, rasanya bahagia banget. Saking bahagianya, saya perlu waktu untuk "mencerna" semua ini pelan-pelan. Ibaratnya, saya sudah terbiasa diam di rumah dengan segala kenyamanannya, begitu dapet kerja, ada rasa seperti ketakutan bahwa saya nggak yakin bisa melewati ini semua. Di hari pertama bekerja sih lebih parah, saya sempet-sempetnya merindukan masa-masa pengangguran hahahahaha.

Bagaimana rasanya bekerja?
Secara umum saya nggak mengalami kesulitan. Awalnya memang stress, karena di tempat saya bekerja, saya di tuntut untuk bukan hanya menguasai satu posisi jabatan, tapi juga harus siap-siap belajar untuk posisi jabatan yang lain. Awalnya saya di tempatkan di Customer Service, kemudian saya di pindah ke Back Office. Dan sekarang saya sedang belajar teller. Awalnya aneh dan sempet ngeluh-ngeluh mulu, tapi lama kelamaan terbiasa. Saya berusaha mengambil sisi positifnya saja, hitung-hitung saya belajar dan menambah ilmu.

Menariknya, saya bukan hanya belajar yang berkaitan dengan jobdesk saya, tapi justru saya banyak belajar dari hal-hal lain. Seperti belajar memahami karakter rekan-rekan kerja, misalnya. Dan saya nggak berhenti bersyukur karena saya di beri rekan-rekan kerja yang asik dan menyenangkan. Serta tidak segan-segan membantu ketika saya mengalami kesulitan, baik dalam bekerja maupun dalam beradaptasi. Dari rekan-rekan kerja saya lah saya banyak mendengar cerita mereka. Ada yang terpaksa meninggalkan anaknya yang masih balita demi membantu keuangan keluarganya, ada yang rela berangkat pagi-pagi buta demi supaya nggak telat bekerja, ada yang ikhlas berjauhan dengan istri dan anaknya karena tempat kerja dan rumah jaraknya jauh. Dan ada yang awalnya menjadi OB, satpam dan kini berhasil menduduki posisi jabatan yang strategis. 

Sejauh ini saya menikmati pekerjaan saya, mensyukuri setiap peluh dan rasa capek yang saya dapatkan. Karena sekali lagi, untuk mendapatkan pekerjaan ini, saya sudah menunggu bukan hanya dengan usaha yang keras, tapi juga dengan doa yang tak pernah putus :)

Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Gambar dari laruno.com
Pulang adalah satu kata yang memiliki definisi bagi setiap orang. Bukan hanya sekedar mengantarkan raga ke tempat tujuan masing-masing, tapi juga selalu ada perasaan dan cerita yang di bawa.

Bagi seorang TKI yang sudah bertahun-tahun bekerja di luar negeri dan bisa kembali ke tanah air, pulang mungkin adalah sebuah mimpi yang akhirnya dapat terwujud. Sekian lama tepisah jarak dan perbedaan waktu dengan suami, istri, anak dan anggota keluarga lain, menjadikan pulang sebagai sesuatu yang mahal. Dia rela menukarnya dengan pekerjaan yang gajinya tak sedikit dan berhadapan dengan resiko ketidakpastiaan nasib karir mereka setelah pulang. Semua itu hanya untuk bertemu, memeluk mereka, menyentuh pipi dan tangan, mengobrol dan bertatapan langsung dengan mereka. Dan dia membawa perasaan rindu yang selama ini ia tekan kuat-kuat dan hanya dapat di salurkan lewat dunia maya.

Bagi seseorang yang sudah bekerja seharian, pulang adalah sesuatu yang di nanti bahkan sebelum menginjakkan kaki di kantor. Pulang bukan hanya membebaskan mereka dari beban pekerjaan untuk sementara waktu, tapi juga kesempatan untuk mengistirahatkan raga dan jiwa mereka agar tetap sehat dan waras.
Meskipun hanya sejenak, ada rasa syukur yang diam-diam menyelinap di dalam hati. Ada yang menunggu dan menyambutnya di rumah, ada yang sudah menghidangkan makanan untuknya di atas meja, ada yang memeluknya dengan hangat, serta ada yang meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita atau keluh kesahnya. Pulang bagi mereka adalah kebahagiaan sederhana yang bernilai, karena bertemu orang-orang tercinta dapat membuat lelah mereka berkurang. Menjadikannya penyemangat dalam bekerja dan alasan kuat untuk tetap kembali.

Dan bagi sebagian orang, pulang adalah sesuatu yang biasa saja. Rutinitas rutin tanpa makna. Tidak ada yang spesial selain ingin makan, mandi, tidur dan besoknya kembali beraktivitas. Tidak ada orang yang harus di sapanya, tidak ada orang yang ingin di ajaknya mengobrol dan segalanya berjalan dengan sangat cepat. Pulang bagi mereka mungkin hanya sebagai singgah sementara, terlebih karena tidak ada tempat tujuan lain.

Bagaimana definisi pulang bagi kamu? :)

Love.
Amelia Utami
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Gambar di ambil dari goodreads.com
Sinopsis :

Dalam dunia penerbangan, di kenal dengan istilah critical eleven, sebelas menit paling krisis di dalam pesawat-tiga menit setelah take off  dan delapan menit sebelum landing- karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah -delapan menit ketika senyum, tindak tanduk dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

****

Sebelum bahas review-nya, saya mau curhat sedikit. Saya agak kapok baca novel jenis metropop, salah satunya adalah karena tipe ceritanya hampir sama : gaya hidup hedon dan kebanyakan tokohnya sempurna banget. Tapi pas lagi beli buku di toko buku online, Critical Eleven membayangi pelupuk mata saya terus. (Alah!). Apalagi katanya ini cerita panjang dari cerpen Ika di kumcer Autumn Once More dan banyak mendapatkan pujian.
Setelah perang batin selama berminggu-minggu, (Iya, saya orangnya seribet itu kalau beli barang, termasuk buku), akhirnya memutuskan untuk beli karena tertarik membuat review-nya. Dengan ekspektasi NOL besar.

Daaaan ini lah hasilnya :


  1. Oke, mungkin ini sudah jadi khasnya novel metropop yang susah di hilangkan : banyak kata-kata bahasa Inggris dan dialog gado-gado Indonesia-Inggris. Di halaman-halama awal, saya baca sambil di temani oleh google translate. Serius! Entah karena kemampuan bahasa Inggris saya belum jago atau kata-kata Inggris Ika terlalu njlimet. But thanks God, di halaman-halaman selanjutnya, dialog bahasa Inggrisnya lebih mudah di mengerti. 
  2. Ika menjelaskan sesuatu dengan cara berputar-putar. Mengajak pembaca untuk membaca informasi-informasi yang di tulisnya sebelum sampai ke inti cerita. Membahas tentang kopi, judul-judul film (saya menyerah membaca judul-judulnya, yang saya tau cuma film Breakfast at Tiffany's yang di sebutkan disana), judul-judul buku dan tempat-tempat makan di Jakarta (mulai pinggir jalan sampai fancy place). Awalnya saya antusias, tapi lama-lama agak jenuh. Kenapa nggak langsung ke inti ceritanya aja sih? 
  3. Terlepas dari itu, I like the information that is given by Ika. Yes, sure, menambah informasi baru. Termasuk saya jadi tau jenis-jenis kopi, kerjaan management consultant itu gimana dan oh yeah harga sepatu Louboutin! Jadi, suatu hari kalau saya jadi orang kaya raya (ngimpi dulu boleh ya?), saya nggak kaget atau baca istighfar berkali-kali pas mau beli sepatu dengan harga yang hampir sama dengan harga cicilan KPR.
  4. Ceritanya sebenarnya biasa. Tentang konflik rumah tangga. Tapi Ika "meraciknya" cantik banget. Alurnya maju-mundur, tapi smooth dan nggak bikin bingung. Konfliknya dapet. Diceritakan dengan sudut pandang Ale dan Anya secara bergantian. Berhasil membuat saya sirik, baper, senyam-senyum dan terharu dalam waktu yang berdekatan!
  5. I love so damn much, Ale! Terserah orang-orang pada suka Harris, adik Ale. (sudah di ceritakan Ika dalam novel Antalogi Rasa). Saya tetap lebih milih Ale. Saya suka dia memperlakukan istrinya dan karena dia rajin sholat (hahaha penting nggak sih?). But come on, kalau ada cowok ganteng, kaya, baik hatinya kurang ajar banget, plus rajin sholat, kenapa nggak pilih dia? Iya, kan? *swing swing
  6. Saya nggak terlalu simpati sama Anya. Menurut saya dia itu agak-agak selfish, childish,...whatever it! Saya tau dia berduka dan terluka, tapi tapi tapi dia nggak buta kan kalau Ale cinta mati sama dia dan mau memperbaiki kesalahannya dengan tulus? zzzz.
  7. Endingnya. Saya bengong beberapa detik pas baca halaman terakhir. "Eh, beneran ini udah beres?". Lah, bener. Udah beres. Antara lega dan nggak rela ceritanya selesai. Yaaah padahal saya mau tau reaksi Ale waktu Anya kasih tau kalau dia...*ah udah ah tar spoiler
  8. Suka covernya dan pembatas bukunya yang bergambar boarding pass. Unik aja sih.
  9. Banyak kata-kata quoteble yang berseliweran. Favorit saya adalah :

"It's even said that expectation is the root of all disappoinment" (hal.14)

Yes, right. Kata saya dalam hati.

"Orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita" (hal 252)


****

Well, saya harus mengakui, Critical Eleven menjadi novel metropop pertama favorit saya. Ika masih memasukkan barang-barang branded dan tempat-tempat fancy, tapi space-nya tidak dominan. Hanya selintas-selintas di sebutkan. Ika concern pada cerita, pada konflik yang di bangunnya dan...berhasil menurut saya. I'm totally agree Critical Eleven is the most anticipated book of the year!

notes : 
Saya perhatiin kayanya penulis novel Indonesia ini sukanya memilih profesi untuk tokoh utama laki-lakinya adalah tukang ngebor minyak di luar negeri. Entah di negara manapun. Di novel 23 Episentrum, tokoh Prama, bekerja di Kilang Minyak di luar negeri. Di novel Sabtu Bersama Bapak pun demikian, di ceritakan tokoh Satya berprofesi sejenis. And then now...Critical Eleven!. Kayanya suka yang ngebor-ngebor ya? hihihi.

Love.
Amelia Utami.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Lokasi :

Jalan Mariwati Km.7, Desa Kawungluwuk,
Kec. Sukaresmi, Kab. Cianjur, Jawa Barat.

Tiket : 30.000/orang


Untuk kedua kalinya saya mengunjungi tempat wisata ini, sempat kaget karena banyak perubahan di sana-sini, juga harga tiket yang naik 10ribu. Yang lainnya sih nggak ada yang berubah, bunga-bunganya tetep fresh, tempatnya semakin bersih, dan yang jelas Taman Bunga ini bisa di jadikan wisata alternatif untuk berlibur atau sekedar mengisi waktu luang.


Loket Tiket










Pohon Jodoh
Taman Perancis

Note : 
Jangan heran kalau kalian melihat banyak turis Arab, karena di sekitar taman bunga ada kampung Arab. Sampai ada restoran Arab juga nih di komplek wisata hihi.



Love.
Amelia Utami
#30hariproduktifmenulis

****

FOTO MILIK PRIBADI. DILARANG MENGAMBIL TANPA IZIN.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Kalau ada yang tanya, apa hobi saya, saya akan menjawab dengan lantang :

1. Menulis
2. Membaca Novel
3. Menonton Drama Korea

Yup betul, semua hobi itu di lakukan di dalam rumah! Tidak ada pemandangan gunung, pantai, atau gedung-gedung tinggi. Hobi saya bisa di lakukan sambil duduk, tengkurap, tidur-tiduran bahkan tidur beneran. Nggak usah pake baju bagus-bagus, cukup pake baju rumah atau daster sekalian. Mau nggak pake baju? terseraaaaah!.

Ada yang nganggap hobi saya aneh, karena dia liat saya nggak pernah ngerasa bosan. Ada, nggak ada duit, katanya saya tetep seneng-seneng aja. Lah ya iyalah, orang hobi saya murah. Kecuali saya hobi ngoleksi berlian, baru deh kalang kabut.

Bandingkan dengan dia katanya, kerja hampir tiap hari. Dapet gaji, bela-belain nabung, lalu jalan kesana kemari. Anehnya, dia ngerasa nggak begitu bahagia walaupun udah buang duit banyak.  
Giliran saya yang sirik. Rasanya pengen bilang, "Eh, justru elo yang enak kaliiiii. Bisa mengunjungi tempat-tempat baru. Daripada gue, diem di rumah. Lama-lama bisa bertelor!"

Akhirnya saya jawab, "Mungkin travelling bukan hobi kamu, tapi cuma sekedar memenuhi kebutuhan aja. Karena penat di kantor, ya kamu butuh liburan".

Temukan hobi. Itu mungkin hal yang sepele. Tapi sebenarnya sih cukup krusial. Hobi itu bukan sekedar kegiatan di waktu luang, tapi juga salah satu yang bikin kita  tetap waras. Tetap bahagia. Walaupun kata orang lain hobi kita aneh, abaikan. Selama hobinya itu hal-hal yang positif. Bukan hobi ngoleksi narkoba atau nyolong duit. 

Bagi saya, di sebut hobi itu jika kita melakukannya berkali-kali dan perasaan kita tetap sama saat melakukannya, yaitu bahagia, antusias, rileks dan lain-lain. Itu yang saya rasakan. Lagi sedih, terus nonton drama korea, rasanya seperti di hibur. Bisa ketawa lagi atau minimal senyum. Lagi bete, baca novel, rasanya kaya di ajak ngomong. Lagi putus asa, terus menulis, rasanya kaya beban tuh pelan-pelan di angkat. Ya semacam itu lah.

Hobi itu kaya pelampiasan positif saat saya lagi marah, kesel, sedih atau pengen nyekik orang (hahahaha). Orang yang tidak memiliki hobi, mungkin akan melakukan pelampiasan ke hal-hal yang negatif, yang berujung pada merugikan orang lain atau dirinya sendiri. Dan satu lagi, kalau sesuatu yang kita anggap hobi itu justru membuat kita tambah mengeluh, ya berarti itu bukan hobi. Jangan di terusin. Ngapain? Menyengsarakan!

Love.
Amelia Utami
#30hariproduktifmenulis
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Sebenarnya ini menjadi big question dari dulu dan entah kenapa akhir-akhir ini saya terusik kembali dengan perasaan seperti itu. Pernahkah kalian mengalami, memiliki teman dekat atau yang kalian anggap sahabat, tapi hanya bertemu jika ada moment tertentu? Seperti buka puasa, sedang liburan, datang ke acara reuni atau tidak sengaja bertemu? karena kesibukan masing-masing, intensitas bertemu memang tidak menentu, tapi bukan itu sih yang buat "ko gini ya?".

Jadi, saya punya temen-temen deket dan kami berteman udah cukup lama. Dari awal berteman kami menganggap satu sama lain dan mengaku pada orang lain adalah sahabat, best friends atau soulmate (bukan nama ustad, oke ini nggak lucu). Sekali lagi, karena kesibukan masing-masing, kami jarang ketemu. Paling ketemu satu tahun sekali atau bahkan nggak ketemu bertahun-tahun terus bikin acara (yang lebih sering batal daripada jadinya).

Yang lucu adalah selama nggak ketemu itu kami jaraaaaang sekali saling contact. Temu-temu dapet kabar si A mau menikah, si B udah mau punya anak atau si C udah putus sama cowoknya. Cuma bisa kaget karena nggak tau awal ceritanya gimana. Lah, katanya sahabat?

Yang lebih lucu lagiiiii, saat ketemu kami bener-bener seperti layaknya sahabat. Foto bareng, pasang senyum sumringah, ngobrol-ngobrol akrab atau bahkan curhat! Setelah pertemuan itu? blaaaaas! Kami ya paling cuma contact buat ngobrol basa basi ala kadarnya. Bahkan kadang saya nggak ngerti apa yang mereka obrolin, topik apa yang tadi mereka omongin. Kami ngobrol seolah-olah kami saling mengerti, saling mengetahui sebagai sahabat. Tapi padahal isi obrolannya aja nggak tau tentang apa. Mau nanya pun rasanya sungkan karena ya itu : we communicate only if mutually meet at a moment. Berasa ketinggalan berita. Antisipasinya paling cuma ikut senyam-senyum atau ketawa-ketawa doang. Meskipun rasanya lagi-lagi ko gini banget ya? jangan-jangan gue nih yang nggak bisa "masuk" ke obrolan mereka?

Yang lebih lucu-lucunya lagiiii, kadang kalau di tanya tentang mereka saya "kesulitan" jawab. Contohnya : "Eh, ami gimana kabar si A? sekarang tinggal di mana?" eng..ing...eng biasanya gue rada ngarang nih jawabnya. "Baik ko. Eh bukannya masih tinggal di kota B? terakhir cerita sih masih tinggal di situ". Padahal terakhir cerita entah tahun berapa hahahaha.

Saya bukannya mau jelek-jelekkin temen sendiri, toh saya juga merasa sebagai seorang temen banyak kurangnya. Mungkin saya nggak bisa mendekatkan diri, nggak bisa terbuka, nggak gampang mengungkapkan perasaan atau pergaulan mereka sekarang yang nggak "masuk" lagi dalam standar pertemanan saya. Suka nggak suka, realitanya seperti itu. Dan memang aneh aja rasanya.

Mengaku berteman baik, tapi tidak tau apa-apa tentang mereka.
Mengaku berteman baik, tapi baru rajin saling contact saat ingin bertemu.
Mengaku berteman baik, tapi baru mau menghubungi cuma saat mengucapkan selamat ulang tahun. Itu juga kalau nggak lupa.
Mengaku berteman baik, tapi tidak tau kalau mereka udah ganti nomer HP.
(keterlaluan nggak sih kalau yang ini? hahahaha)

Mungkin selama ini saya terlalu berlebihan dalam mengartikan kata "best friends" yang sudah lama di sematkan di antara kami, jadi ngerasa kecewa begitu kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Tapi balik lagi sih ya, berteman itu kan tidak membutuhkan umpan balik. Tidak membutuhkan pengakuan. Saya nggak bisa maksa mereka untuk dekat dengan saya atau saya dekat dengan mereka. Saya pribadi pun nggak pernah punya teman dekat banget sampai awetnya bertahun-tahun alias selalu berubah-ubah, karena itulah yang namanya hidup. Selalu bertemu dengan teman baru. 

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan mereka, sahabat tetap sahabat. Apapun definisnya. Sedekat apa hubungannya. But I know, they are kind persons. Belum tentu saya menemukan teman-teman baik seperti mereka di luar sana :)

Love.
Amelia Utami
#30hariproduktifmenulis
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
REVIEW

Novel by Adhitya Mulya

Gambar dari google.com
Beli buku ini udah lumayan lama dan baru tergerak bikin review-nya sekarang (gubrak!). Agak surprise bahwa ternyata salah satu novel penulis di angkat ke layar lebar dan jadi salah satu film Indonesia favorit saya, yaitu Jomblo (lah, kemana aja gue? lagi semedi di gua! *kalem*).

Banyak yang bilang buku ini sedih. Setelah saya baca, sedih sih nggak, terharu iya. Gimana pun kehilangan seorang ayah untuk selama-lamanya pasti meninggalkan kesedihan yang tak bisa di ungkapkan. Untungnya pak Gunawan Garnida punya cara unik agar tetap dapat mendampingi tumbuh kembang anak-anaknya -Satya dan Cakra-, meskipun dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Yup, Pak Gunawan setelah di vonis sakit, ia membuat video untuk anak-anaknya. Dan video itu di putar setiap hari sabtu.

Bagian saat video di putar lah bagian yang menurut saya paling haru....

Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian,.
Tapi, Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian.
Ingin tetap bercerita kepada kalian.
Ingin tetap mengajarkan kalian.
Bapak sudah siapkan.

Bapak ada di sini. Di samping kalian.
Bapak sayang kalian.

Dan berkat "bimbingan" Bapak lewat video itu, Satya dan Cakra tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas, sukses dan tidak kekurangan kasih sayang seorang ayah. Saat mereka berdua menghadapi permasalahan hidup masing-masing, video Bapak menjadi panutan mereka. Cakra belajar mencari cinta dan Satya belajar menjadi suami dan bapak yang baik.

****

Novel ini lebih cocok di jadikan novel parenting untuk para orang tua yang sedang membesarkan anak-anaknya. Saya yang belum menikah dan belum punya anak, jadi banyak belajar dari novel ini. Bagaimana merencanakan masa depan anak-anak dengan matang dari jauh-jauh hari. Rezeki memang di tangan Tuhan, tapi sebagai manusia kita wajib berencana untuk meminimalisir kemungkinan buruk yang ada.

Satu dialog yang saya suka :
Mamah : "Ka, istri yang baik nggak akan keberatan di ajak melarat".
Cakra   : "Iya, sih. Tapi Mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk     melarat".
Duh, Cakra ini calon suami idaman banget ya hehehe.

Untuk kamu yang suka baca novel dengan bumbu konflik-konflik didalamnya, mungkin akan sediit kecewa membaca novel ini. Karena novel Sabtu Bersama Bapak hampir tidak ada konflik seperti novel-novel kebanyakan. Tapi karena bagi saya kategori novel itu hanya dua : enak di baca dan tidak, maka saya tidak begitu peduli dengan konflik.

Bintang 4,5 dari 5. Nggak sempurna karena saya agak terganggu dengan ukuran font yang kecil di novel. Selebihnya....recommended!

Love.
Amelia Utami
#30hariproduktifmenulis
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
REVIEW

A Novel by Kathryn Littlewood

Gambar di ambil dari goodreads.com. Edit oleh penulis.
#1 Bliss

Dikasih novel ini sama Defbry tahun 2013. Awalnya saya nggak tertarik untuk baca karena yeah saya nggak terlalu suka novel terjemahan. Imajinasi saya nggak baik. Membayangkan setting novel Indonesia aja kadang suka kesulitan, apalagi membayangkan setting novel luar negeri yang entah tempatnya ada dimana (hahaha). Selain itu, aneh aja rasanya baca novel dengan bahasa Indonesia yang baku. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk membaca karena tergoda dengan covernya yang catchy banget (ami anaknya gampang tergoda :p ).

Terbukti novel Bliss sempet saya anggurin selama satu tahun lebih, baca sedikit halaman awal-awal, kemudian saya menyerah : ini novel apaan sih?. Memutuskan membaca lagi setelah banyak yang review katanya seru dan menarik ceritanya, apalagi ada kelanjutannya. Yaudah deh saya lanjut baca dengan ekspektasi yang rendah, tapi....tapi....makin ke halaman belakang...eh ko seru? ko lucu? wah, ko bisa saya nganggurin ni buku? 

Intinya di buku pertama Bliss ini terpusat pada kedatangan bibi Lily (saudara jauh keluarga Bliss) yang kehadirannya "menyihir" seluruh anak-anak keluarga Bliss (Rose, Ty, Sage dan Leigh) dengan wajah cantiknya, keramahannya dan tentu saja keahliannya dalam membuat kue. Tanpa mereka sadar bahwa bibi Lily memiliki rencana jahat, yaitu ingin mencuri buku resep ajaib keluarga Bliss yang mengandung bahan sihir. Dan saat buku resep itu sudah berpindah tangan, Rose dan saudaranya hanya bisa menyesal. 

#2 A Dash of Magic

Rosemary Bliss rela melakukan apa saja untuk mendapatkan kembali buku resep ajaib milik keluarganya. Maka, ia menerima tantangan bibi Lily untuk mengikuti kompetensi masak internasional di Paris. Jika Rose menang, bibi Lily akan mengembalikan bukunya. Jika tidak, buku itu akan hilang selamanya.

Bliss bagian kedua ini bagi saya paling berkesan karena mungkin setting-nya di luar Amerika dan juga ceritanya lebih berkembang. Membuat saya banyak tertawa dan menikmati setiap petualangan tokohnya. Membayangkan Ty, Sage dan Rose berkeliling Paris demi mendapatkan bahan-bahan ajaib : Rahasia Senyum Monalisa, Dentang Lonceng Notre Dame, Bisikan Kekasih, sampai Hujan Murni di Puncak Eiffel. Loh, ko bisa penulis punya ide begitu? hahahaha. 

Dan keseruan itu mencapai puncaknya ketika Rose berhasil keluar sebagai juara dan mendapatkan buku ajaib keluarganya kembali! Saya ikut lega beneran karena sepintas bibi Lily ini karakternya nyaris sempurna dan tak bisa di kalahkan. Huuu rasain! Akhirnya kalah juga...hihi.

#3 Bite-Sized Magic

Meskipun Rose sudah mendapatkan buku resep ajaibnya kembali dan dia mendapatkan ketenaran setelah memenangkan kompetisi masak internasional, namun ternyata masih ada masalah baru yaitu Tn. Butter dari perusahaan Mostess menculiknya, memaksanya mengembangkan beberapa resep ajaib, seperti moony pye dari keju bulan dan seloyang sus cokelat berpendar.

Kekacauan terjadi. Resep ajaibnya menciptakan zombie!

Bagaimana keseruan Rose dan saudaranya mencegah rencana jahat Tn. Butter dalam menguasai dunia dengan kudapan jahat? beli dan bacalah sendiri...hahahaha.

****

Meskipun karakter tokohnya adalah anak-anak, tapi saya jamin buku ini bisa di nikmati oleh semua kalangan usia. Ceritanya ringan, seru dan terselip banyak humor dalam dialognya. Buku ini cocok untuk menemani kamu di waktu santai :)

Bintang 4,5 dari 5. 
Terutama untuk terjemahan bahasa Indonesia-nya yang enak di baca dan nggak aneh.

Love.
Amelia Utami
#30hariproduktifmenulis
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mempromosikan sebuah akun...

Membeli dan membaca buku adalah salah satu hobi saya yang cukup konsisten (kalau kebetulan ada duit hehehe). Tapi semenjak lulus kuliah dan balik ke kampung halaman, hobi itu jadi tersendat. Karena yeah di kampung nggak ada toko buku. Kalau pun ada, toko bukunya kecil dan koleksinya nggak lengkap. 

Beda banget waktu masih tinggal di Bandung. Mau beli buku, tinggal melesat naik angkot ke Gramedia atau Togamas. Kalau duitnya lagi cekak, ya belinya di Palasari. Intinya banyak pilihan. Waktu masih ada Defbry juga, masih bisa nitip ke dia. Trus tinggal minta tolong kirim ke rumah. Baru sekarang-sekarang saya mulai ngerasa frustasi karena nggak mungkin banget ke Bandung cuma beli buku doang :(

Akhirnya saya menemukan solusinya! *teriak girang*

Saya coba beli buku via online. Mungkin karena saya katro atau terbiasa beli buku langsung di toko, jadi saya nggak begitu tau kalau banyak toko buku online bertebaran. Awalnya ragu karena takut nipu. Tapi karena hasrat membaca buku sudah membludak (gaya banget sih, Mi!) akhirnya saya berani untuk order buku via online. 

Dari rekomendasi teman-teman dan berhari-hari survey di internet sampai mata nyureng, saya memilih order di Buku Kita. Secara keseluruhan, servicenya memuaskan dan trusted. Salah satu yang saya rekomendasikan! Oh ya, salah satu kelebihan beli buku lewat online adalah harga yang lebih murah dari harga asli di toko. Kalau di bukukita sendiri rata-rata dapet diskon 15%/buku. Lumayan, kaaaan?

Ada dua cara order di sana :
  1. Lewat website bukukita. Buka websitenya lalu tinggal pilih buku dengan mengetik Judul dan Pengarang. 
  2. Lewat Sms/Whatsapp. Order dengan mengetik format sesuai ketentuan. Saya memilih oder via whatsapp karena menurut saya lebih mudah dan nggak seribet di web. Tapi memang harus sabar karena sangat slow respon. Ini masih bisa di maklumi, mengingat orang yang order buku pasti jumlahnya sangat banyak. Tapi tenang saja, pasti di bales dan  mendapatkan konfirmasi orderan.
Sedikit tips membeli buku lewat online :
  1. Jangan membeli buku yang sudah lama terbit. Di gudang penerbit kemungkinan besar nggak ada, Kalau kita masih nekat, pihak bukukita akan mengkonfirmasikan bahwa buku yang kita pesan sudah tidak tersedia dan akan mengembalikan uang kita. Dimana-dimana urusan refund itu ribet banget! Saya saranin sih jangan ambil resiko. Yang ada bikin jengkel.
  2. Harus sabar. Karena beli buku lewat online dan datang langsung toko itu sangat berbeda, jadi jangan kaget kalau orderan kita sampainya agak lama. Karena namanya toko buku online, tidak semua buku ready stock ada di mereka. Sesuai pengalaman saya, saya pesen buku yang stocknya ada di gudang penerbit. Dibutuhkan waktu satu-dua hari untuk mengambilnya di penerbit. Kalau stocknya ada di mereka, pengiriman akan lebih cepat. 
  3. Jangan ragu bertanya kepada mereka tentang proses orderan kita. 
Sekian dan selamat berbelanja bukuuuuuu :)

Love.
Amelia Utami
#30hariproduktifmenulis
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hai, karena saya lagi "libur" puasa dan kebetulan laptop kakak saya lagi nggak di pake, ijinkan saya melanjutkan kembali posting #30hariproduktifmenulis yang terseok-seok karena laptop saya error mulu.

Sore ini saya lagi tertarik pengen ngasih review sedikit tentang novel yang dua hari lalu baru selesai saya baca yaitu Dilan bagian kedua. Berbeda dengan novel bagian pertama yang kebetelun saya nggak sengaja beli di pameran buku Mizan tahun 2014 lalu, (tanpa tau kalau novel itu lagi booming banget), saya nggak terpikir untuk membuat review. Kenapa? karena saking terhayutnya saya (duile) sama tokoh Dilan dan segala tingkah sablengnya. Di bagian pertama, saya nggak berhenti tertawa dan geleng-geleng kepala sekaligus takjub : "wow, ko ada laki-laki kaya Dilan?". Hehehe. 

Gaya bahasa ayah Pidi Baiq juga sangat berbeda dengan penulis lain. Kalau saya bilang, keluar dari aturan-aturan menulis novel pada umumnya. Tapi herannya, ini yang membuat saya nggak paham, saya ko seakan nggak peduli ya. Bodo banget. Meskipun ada beberapa bagian yang garing dan nggak masuk ke saya (meskipun sudah berkali-kali saya coba), tapi tetep oke dan bikin betah baca sampai halaman terakhir. Bintang 4,5 dari 5 untuk novel Dilan : Dia adalah Dilanku Tahun 1990.

Gambar dari mizan.com. Edit oleh penulis.
Bagaimana dengan Dilan bagian kedua? terus terang saya agak kecewa, meskipun saya masih bisa menikmatinya sampai halaman terakhir. Saya rela pergi ke Gramedia Cirebon untuk beli novel ini saking excitednya dan takut kehabisan. Saya juga rela mengingat-ingat kembali tokoh-tokoh yang ada di Dilan bagian pertama. Karena untuk membaca buku bagian pertama lagi, saya males. 
Siapa juga yang nggak penasaran sama ending kisah cinta Dilan dan Milea?

Oke, ada beberapa hal yang membuat saya jauh lebih suka Dilan bagian pertama daripada kedua, yaitu : 

1. Di bagian kedua, terlalu banyak dialog yang panjang dan maaf, garing. Saya beberapa kali sempat mengkerutkan kening karena saking booringnya. Meskipun akhirnya saya tetep baca dan tidak tega untuk men-skip-nya.

2. Entah kenapa saya kesel banget sama tokoh Milea di Dilan bagian kedua ini. Meskipun berkali-kali Milea bilang di buku bahwa tingkahnya harap di maklumi karena masih remaja dan sulit mengontrol perasaannya yang masih labil, tapi tetep saja saya jengkel. Bagi saya Milea ini terlalu berlebihan reaksinya. Baik saat menghadapi kenakalan Dilan, saat mencemaskan Dilan apalagi saat merindukan Dilan. hahaha yang terakhir karena saya sirik. Kadang pas baca saya sempet mikir : "Ini Milea udah ngerjain PR belum ya? Mikirin Dilan mulu!"

3. Kelucuan Dilan menurun drastis di Dilan bagian kedua. Nggak tau kenapa saya merasa Dilan banyak berubah. Cenderung serius. Dilan, kamu kenapa? kamu bosan? salah gue? salah temen-temen gue? *di keplak*. Kelucuan Dilan di bagian kedua ini agak maksa dan ada beberapa yang di ulang-ulang (saya lupa di bagian mana)

4. Dilan bagian kedua ceritanya lebih mendung. Tidak seceria bagian pertama. Akew, temen Dilan, meninggal karena di keroyok oleh geng motor, Dilan di keluarkan dari sekolah dan ayah Dilan meninggal. Maaf ya ini spoiler, hehehe.

5. ENDINGNYA! Ini nih yang bikin hati saya berkecamuk hahaha. Meskipun udah ketebak pas baca bagian pertama, tapi masih berharap bahwa ayah Pidi Baiq mau merubahnya. Tapi apa daya toh tetep sama. Jadi dua bab terakhir Dilan bagian kedua adalah bagian yang berat saya baca. 
Yeaaah akhirnya, Milea menikah dengan laki-laki lain dan saat menulis cerita ini, dia sudah punya anak. Saya ikut sedih plus ngeri juga. Udah punya suami, tapi di dalam hatinya masih menyimpan satu nama laki-laki yang masih sangat di rindukannya. Laki-laki yang pernah sangat dia cintai.
Jujur saja, saya tidak mau seperti Milea. Saya ingin menikah dengan tidak membawa masa lalu saya. Dengan tidak membawa perasaan dari satu nama laki-laki pun dari masa lalu saya. Ya ngeri aja perasaan seperti terbagi-bagi seperti itu.
Terus ya yang jadi pertanyaan saya, kemana saja Dilan setelah putus dengan Milea sampai akhirnya Milea menikah dengan laki-laki lain? sayangnya, penulis tidak menjelaskannya, termasuk menjelaskan siapa perempuan yang ikut melayat di pemakaman ayah Dilan dan seperti apa kehidupan Dilan sekarang.
DILAN, SIAPA PEREMPUAN ITU? saya jadi gemas sendiri! Hahahaha.

Di twitter, penulis berjanji bahwa Dilan akan menjelaskan semuanya. Apakah cerita Dilan akan berlanjut? kita liat saja nanti. Yang jelas Dilan bagian kedua ini harus kamu miliki, terutama yang sudah membaca bagian pertama. saya tidak bilang bagian kedua ini jelek, tidak, sama sekali. Hanya masalah selera saja dan bagi saya cerita Dilan tetap membekas di hati.

Bintang 4 dari 5. Terutama untuk ilustrasinya yang keren banget!

Terima kasih Pidi Baiq sudah membuatkan cerita Dilan, tolong sampaikan salam saya untuk Dilan dimanapun dia berada :)

Love.
Amelia Utami
#30hariproduktifmenulis
Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar

Hai, baru bisa update posting #30hariproduktifmenulis. Sebenarnya ini murni karena kemalasan saya. Maafkan *salim*.

Karena sekarang lagi bulan Ramadhan, saya jadi pengen bahas sedikit tentang bulan suci ini. Bukan sok religius atau menceramahi ya, tapi ini karena random thought saya aja yang kadang suka muncul tiba-tiba.

Bicara tentang bulan Ramadhan, bagi saya pribadi ini adalah bulan Ramadhan ke-2 yang paling berkesan setelah saya dewasa. Wow, berarti kemarin-kemarin nggak berkesan dong? hmmm gimana ya. Flashback sedikit, saya mulai puasa sehari penuh itu umur 9 tahun, yaitu kira-kira kelas tiga SD. Itu adalah puasa pertama yang meninggalkan banyak kesan dan kenangan manis : semangat sahur satu jam lebih awal, kaki ringan sekali melangkah ke Musholla untuk sholat berjamaah dan tadarus bersama teman-teman, serta silaturahmi dengan tetangga dalam bentuk buka bersama hampir setiap hari. Tidak ada keluhan lapar dan haus. Waktu berjalan sangat lambat dan saya menikmatinya. 

Kelas satu SMP adalah awal dari rasa "kosong" dalam menjalankan ibadah puasa. Malas pergi sholat berjamaah, malas mengaji, kerjaannya ngeluh mulu karena haus, lapar, capek karena harus berangkat sekolah dan bla bla bla. Kegiatan bulan Ramadhan hanya di isi dengan tidur, nonton tv, ngobrol hal-hal yang nggak penting dan ngeliatin jam mulu karena buka puasa rasanya tuh lamaaa banget. Bahkan setelah kuliah pun tetep aja nggak jauh berubah. Bulan Ramadhan saat-saat itu blaas tidak meninggalkan makna apa-apa di hati saya. Intinya ya cuma nahan lapar dan haus aja. 

Ramadhan tahun kemarin baru saya sadar, ya semacam ada kerinduan *ceilaaa*. Kerinduan pengen dekat dengan Allah melalui bulan Ramadhan. Saya mulai intropeksi diri : ko gue begini-begini aja ya tiap bulan puasa?. Kemudian saya melakukan koreksi. Ibadah yang menurut saya kurang, ya saya tingkatin. Kalau rasa malas dateng, biasanya saya langsung inget kalau saya udah gede, malu kalau masih males-malesan ibadah. Masa kalah sama anak kecil, yekaaaan? hahaha.

Untuk Ramadhan tahun ini, hampir nggak jauh beda sama tahun kemarin. Tapi tahun ini saya lebih, lebih, lebih meluangkan waktu untuk intropeksi diri. Jarang buka media sosial seperti biasanya, jarang nonton tv dan sebisa mungkin nggak mau ngeluh. Lebih menghargai waktu juga. Satu detik rasanya berharga banget karena sadar nggak sadar sekarang waktu tuh lebih cepat berputar. Rasanya tuh kaya di"tuntut" untuk ngelakuin yang terbaik. Kalau nggak, bakal rugi banget.

Sebelumnya saya suka ngeluh sama setiap cobaan yang Allah kasih, tapi sekarang sih lebih menerima sembari terus berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan. Alih-alih ngurusin kesalahan orang lain, saya lebih milih fokus pada kesalahan diri sendiri. Mungkin apa yang saya terima adalah buah dari salah satu perbuatan yang saya lakukan di masa lalu. Intinya, meskipun saya masih banyak sekali dosa dan kekurangan, tapi saya nggak mau menyerah untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. 

Akhir kata, 
Selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga ibadah kita lebih baik lagi.
Mohon maaf atas kesalahan saya, baik di sengaja maupun tidak.

Love.
Amelia Utami
#30hariproduktifmenulis
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hayo mana suaranya yang ngaku udah dewasa, tapi ternyata tingkahnya masih jauh dari dewasa? dengan malu-malu, saya mengakui, bahwa saya juga termasuk hahaha. Tapi seiring berjalannya waktu dan semakin bertambahnya usia, saya baru menyadari beberapa hal yang membuat saya berpikir : mungkin saya sudah dewasa. Ya, saya sendiri nggak pernah berusaha dengan sengaja untuk menjadi dewasa. Saya percaya bahwa kedewasaan seseorang itu akan tiba pada waktunya. Tidak bisa di atur dan di rencanakan. Ya itu murni kesadaran diri saja.

Berikut hal-hal yang menurut saya dapat di jadikan indikator bahwa seseorang itu sudah mulai bersikap dewasa  :

notes : saya pernah mengalami beberapa hal di bawah ini, tapi dengan kasus yang berbeda *hehehe

CEKIDOT!

1. Berhenti total atau setidaknya mengurangi update status percintaan macam ABG labil di berbagai media sosial. Misalnya : udah dua jam nih dia belum ngasih kabar. Sepuluh menit kemudian update status dengan isi yang tidak jauh berbeda. *Yaelaa barangkali dia lagi tidur. Baru dua jam. Belum seharian, kan?*. Terus ternyata "dia" yang di maksud itu bukan pacar, tapi baru sebatas gebetan. *cubit nih!*. Contoh lain : hari ini update status baru jadian dengan si A, terus tiba-tiba besoknya putus dan di umumin di media sosial. Oke itu mungkin urusan kamu, tapi please, emang penting banget sampai harus di kasih tau ke semua orang?
Saya pribadi sekarang udah males update status begituan. Saya pikir, hubungan dekat saya dengan seseorang adalah murni urusan pribadi saya. Nggak perlu saya jelasin atau sering-sering mengumbar di media sosial. Toh orang juga nggak ada yang mau tau.

2. STOP mengumbar masalah pribadi atau lebih fatalnya aib sendiri secara terang-terangan di media sosial. *amit-amit saya belum pernah. Kalau nyerempet-nyerempet cerita masalah pribadi sih pernah, tapi untungnya nggak terlalu implisit*. Saya saranin sih ya, mending kalau cerita masalah pribadi itu cerita langsung ke orang yang bisa di percaya. Update status di media sosial cuma bikin kamu keliatan norak dan justru berujung kamu yang di permalukan. Setidaknya itu yang saya pelajari selama ini, bahwa saat kita sudah bisa memilih mana masalah yang harus di share atau di simpan aja buat diri kamu sendiri, di saat itu lah kamu sudah bersikap dewasa.

3. Berkurangnya minat kamu untuk mau tau urusan orang lain, terlebih kalau itu nggak ada hubungannya sama kamu. Misalnya : "eh, kenapa sih si A suka beli barang-barang mewah?". Terus hubungannya sama kamu apa? dia beli pake duit dia sendiri, kan? atau yang lebih resek : "Kenapa dia harus ngambil keputusan begitu? kan lebih baik begini". Kalau bertanya itu wajar ya, tapi bertanya juga harus tau porsinya. Kalau kamu nggak di mintai pendapat, mending kamu nggak usah tanya. Karena kamu nggak tau alasan di balik keputusan yang dia ambil itu apa. Bisa jadi itu yang terbaik untuk dia.

4. Kurang-kurangilah mengeluh. Saya akui ini lumayan susaaaaah banget, soalnya sampai detik ini pun tanpa sadar saya masih sering ngeluh, bahkan untuk masalah sepele. Tapi, tapi, tapi, kita harus berusaha keras. Saya pun demikian. Kalau mau ngeluh setidaknya mikir dulu atau membayangkan kalau mungkin aja masalah yang saya hadapi tuh nggak seberapa di bandingkan masalah orang lain yang lebih berat.

5. Kamu sudah tau tujuan hidup kamu dan prioritas yang akan kamu kerjakan sekarang. Ini penting nih ya. Saya pernah update status di line yang kira-kira isinya begini : semakin bertambahnya umur, pikiran kamu akan tersita bukan hanya untuk cinta-galau-belum move on-bla bla bla, tapi untuk hal-hal yang lebih realitis : mengejar mimpi, membahagiakan orang tua, mencari uang dan lain-lain. Kita memang tidak tau apa yang akan terjadi besok, tapi setidaknya kita memiliki rencana akan melakukan apa saja. Dengan memiliki pemikiran seperti itu, kita sudah membuktikan bahwa kita mulai bersikap dewasa. Bertanggung jawab atas hidup kita. Bertanggung jawab atas diri kita. Bertanggung jawab dengan apa yang kita lakukan sekarang dan apa yang akan kita lakukan di masa depan nanti.

Sebenarnya masih banyak sih indikator lain, tapi yang baru saya rasakan baru segitu. Kalau ada yang mau nambahin, silakan meninggalkan komentar di blog ini ya ^^.

Love.
Amelia Utami
#30hariproduktifmenulis
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pengen bahas ini juga karena salah satu following saya di twitter membahasnya tadi siang. Hmmm hmmm saya jadi inget pengalaman pribadi. Saya baru berani sharing cerita setelah kejadiannya sudah terjadi empat tahun yang lalu. Bagi saya itu adalah masa kegelapan dalam hidup saya. Suram!

Sebelumnya saya mau bahas tentang abusive relationship dulu menurut kacamata saya pribadi. Abusive relationship adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang penuh dengan kekerasan. Bisa dalam hubungan pacaran atau rumah tangga. Kekerasannya bisa seksual, fisik atau verbal (ngomong kasar, memaki, membentak keras, mengancam, mengintimidasi dan sejenisnya). Yang pernah saya alami adalah kekerasan verbal. Meskipun nggak sampai membuat saya trauma dalam menjalin hubungan dengan laki-laki, tapi tetap saja sakit hatinya masih membekas dan susah saya lupain. 

Jadi, dulu saya pernah punya mantan pacar. Kami pacaran waktu SMA. Usianya satu tahun di bawah saya (yup, saya pacaran sama adik kelas). Awalnya hubungan kami baik-baik aja. Secara masih SMA juga kan. Saya pernah menilainya sebagai laki-laki yang pendiam, baik dan nggak banyak tingkah (di buktikan dengan dia bukan perokok). Nah, masalah muncul ketika saya lulus SMA dan saya kuliah di Bandung. Itu membuat kami menjalankan hubungan jarak jauh.

Di awal-awal LDR nggak ada masalah. Saya kuliah dan dia juga sekolah. Tapi lama-lama dia mulai insecure, over jealous dan over protective. Mulanya saya masih bisa memaklumi, tapi lama-lama saya gerah dan mulai curiga ada yang nggak beres sama cowok ini. Antara kurang piknik, kurang gaul atau emang jiwanya sakit.

Pertama, dia meminta secara paksa password facebook saya. Oke, karena waktu itu saya merasa nggak ada yang di sembunyikan akhirnya saya kasih (demi apapun saya polos dan bodoh banget). Saya pikir dia nggak akan berani ngapa-ngapain. Singkat kata, namanya juga mahasiswa baru ya pasti banyak temen-temen yang minta kenalan atau saya kenalan gitu dan berakhir dengan request pertemanan di facebook. Saya baru menyadari ada yang salah ketika teman kampus laki-laki saya bilang katanya akun facebooknya di block oleh saya ketika friends request. Tentunya saya kaget karena saya nggak merasa melakukan itu. Saya nanya baik-baik ke cowok saya. Awalnya dia nggak ngaku. Setelah saya desak akhirnya doi ngaku dan katanya dia bakal block akun cowok yang request pertemanan di facebook saya. 
Nggak berhenti sampai di situ, dia juga maki-maki seluruh temen cowok saya melalui inbox facebook dengan kata-kata yang kasar. Kadangkala tanpa sepengetahuan saya, dia buat update status di beranda facebook saya yang intinya jangan ganggu saya karena udah punya pacar. Saya juga di paksa untuk mengganti nama facebook dengan nama belakang dia. Akibatnya saya mulai ketakutan dan diam-diam membuat akun facebook baru. Walaupun akhirnya ketahuan juga, tapi saya bersikeras nggak mau kasih password facebook baru saya. Hanya untuk mempertahankan sebuah password media sosial, telinga saya harus sakit menahan cacian dan mata saya harus tahan membaca setiap kalimat-kalimat kasar yang di kirimnya. 

Kedua, tingkah dia sudah sangat mengganggu kehidupan sosial saya. Saya harus membalas sms atau telfon dari dia selama hampir 24 jam. Nggak peduli saya lagi makan, mandi, ngerjain tugas atau lagi kuliah. Lama bales sms sedikit aja, saya langsung di tuduh lagi smsan sama cowok lain. Dia juga melarang saya untuk pergi main sama teman-teman perempuan saya. Sekalinya mengijinkan, dengan syarat saya harus membalas smsnya setiap menit. Padahal waktu itu saya lagi nonton film di bioskop. Ya bayangin aja gimana rasanya nonton film sambil smsan. Gelap pula. Dan yang lebih gilanya, dia melarang saya untuk duduk berdekatan dengan teman cowok ketika di kelas. Karena saya nggak tahan lagi akhirnya saya bilang ke dia : kampus aku tuh bukan kampus khusus perempuan dan aku nggak punya hak untuk ngatur teman-teman cowok aku harus duduk dimana. Dan dia tetap nggak terima dan berakhir dengan menuduh saya genit dan cari perhatian. Gangguan jiwa emang, di pikir dia apa yang bayar uang kuliah gue?. Tapi dasarnya saya orangnya sabodo teuing, semakin dia melarang keras, semakin saya menggila. Saya pernah sengaja berbohong lagi tidur siang padahal saya lagi main sama temen-temen. Saya sengaja tidur lebih sore padahal saya lagi smsan sama temen cowok kampus saya. Saya nggak peduli, rasanya jiwa udah tekanan batin banget.

Ketiga, kata-kata dia semakin hari semakin kasar bahkan hanya untuk masalah sepele. Saya pernah di bilang pe****r saat saya mengikuti kegiatan kampus di malam hari. Padahal malam harinya itu jam tujuh dan itu rame-rame ada temen-temen cewek juga. Melalui telfon dia melarang saya untuk pergi dengan tidak lupa memaki dengan nama-nama binatang. Saya nggak tahan lagi. Sambil nangis saya berani bilang : kamu ba****an!. Saya nggak tau lagi kata apa yang pantes buat dia. Orang tua yang membesarkan saya dari kecil aja nggak melarang, ini dia siapa? BAH!

Keempat, dia mulai berani mengancam. Karena saya nggak tahan lagi akhirnya saya minta putus. Dan ya dia mulai drama. Ceritanya nggak terima gitu. Dia menuduh saya selingkuh dan mengancam akan pergi ke Bandung untuk membunuh temen-temen cowok saya di kampus. Saya nggak takut, saya mengancam balik bakal ngelaporin dia ke polisi. Dia nggak mau menyerah gitu aja. Dia kirim sms ke ibu saya dan teteh saya untuk minta dukungan. Untungnya mereka nggak peduli karena saya udah cerita. Karena dia masih juga belum jera, jalan terakhir saya adalah mengganti no HP saya, memblokir akun facebook dia dan mengganti password akun facebook. Dia mulai meneror saya dengan kata-kata kasar melalui inbox facebook. Saya nggak membalasnya, langsung saya hapus. 

Bagaimana rasanya setelah lepas dari dia?
JANGAN DITANYA! LEGAAAAAAA BANGET. HIDUP JADI LEBIH BAHAGIA, NYAMAN DAN NGGAK DI HANTUI KETAKUTAN. 
Bayangin, siapa juga yang nggak nangis sering di omong kasar begitu? siapa juga yang nggak tekanan batin di perlakukan seperti itu? berkali-kali saya sempet kaya orang bego karena bisa bertahan lama menjalin hubungan dengan cowok macam begitu. Tiap mau pergi rasanya kaya ada yang ngikutin, kaya ada yang mata-matain. Tiap mau tidur selalu di hantui besok mau bohong apalagi ya biar bisa main dan ikut kegiatan kampus tanpa di maki-maki.
Udah nggak keitung berapa kali saya maafin dia dan percaya dengan janji-janjinya kalau bakal berubah. Preeeet! dan anehnya, saya masih punya hati buat bantuin dia kalau dia lagi kesulitan. Sampai akhirnya saya berani ambil tindakan. Ini sudah di luar batas.

Saya cerita begini supaya kalian lebih hati-hati pilih pacar atau pasangan ya. Yang udah pernah saya bilang, kalau sekarang tuh jaman orang ngaku waras tapi sebenarnya gangguan jiwa. Memaklumi tindakan kasar seperti saya di awal-awal dulu adalah perbuatan yang bodoh. Persetan dengan cinta atau apalah. Kalau cowok kamu begitu, jangan ragu buat tinggalin dia. Kalau cowok kamu udah main kekerasan fisik, jangan ragu lapor orang tua atau polisi. Biasanya cowok begitu tuh cuma berani ngomongnya doang, realisasinya sih nol besar. Nggak berani. Jadi, jangan mau di gituin. Kamu berhak dapet cowok yang baik dan nggak pantes dapet cowok begitu. Intinya, jangan di butakan oleh cinta. Be smart girl, ya.

Oh ya, kalau ketemu mantan pacar saya ini pengen banget ngelempar sepatu atau apaaaa gitu. 
*emosi tingkat tinggi, maaaaaaaan!*

Love.
Amelia Utami
#30hariproduktifmenulis
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Newer Posts
Older Posts

Categories

  • DRAMA KOREA (5)
  • KATA BICARA (4)
  • RANDOM (1)
  • REVIEW (49)
  • SahabatDifabel (1)
  • SHARING (24)
  • THOUGHT (81)
  • TRAVEL (17)

recent posts

Blog Archive

  • ►  2020 (2)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (3)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (7)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Oktober 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (2)
    • ►  Februari 2018 (2)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (47)
    • ►  Desember 2017 (3)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (1)
    • ►  September 2017 (5)
    • ►  Agustus 2017 (8)
    • ►  Juli 2017 (6)
    • ►  Juni 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (6)
    • ►  April 2017 (3)
    • ►  Maret 2017 (2)
    • ►  Februari 2017 (5)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (23)
    • ►  Desember 2016 (3)
    • ►  November 2016 (4)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (2)
    • ►  Juli 2016 (3)
    • ►  Juni 2016 (2)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  April 2016 (3)
    • ►  Maret 2016 (1)
    • ►  Februari 2016 (2)
  • ▼  2015 (44)
    • ▼  Desember 2015 (2)
      • Stress Therapy with a Colouring Book
      • The Scary Sounds
    • ►  November 2015 (2)
      • Masih Mencari?
      • Tumbuh Menjadi Dewasa
    • ►  Oktober 2015 (1)
      • Finally, I'm Work!
    • ►  Agustus 2015 (4)
      • Definisi Pulang
      • REVIEW NOVEL : Critical Eleven
      • Taman Bunga Nusantara
      • Kekuatan Hobi
    • ►  Juli 2015 (5)
      • Best Friends Who Met If There are Moments
      • Sabtu Bersama Bapak
      • Review Novel : The Bliss Bakery Trilogy
      • Pengalaman Belanja Buku Via Online
      • Review Dilan Bagian Kedua : Dia adalah Dilanku Tah...
    • ►  Juni 2015 (6)
      • Bulan Ramadhan : Waktunya untuk Lebih Intropeksi Diri
      • Dewasa Versi Ami
      • Abusive Relationship
    • ►  Mei 2015 (15)
    • ►  April 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (3)
    • ►  Februari 2015 (3)
    • ►  Januari 2015 (2)
  • ►  2014 (25)
    • ►  Desember 2014 (2)
    • ►  November 2014 (2)
    • ►  Oktober 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  Agustus 2014 (5)
    • ►  Juli 2014 (4)
    • ►  Juni 2014 (1)
    • ►  Mei 2014 (1)
    • ►  Maret 2014 (3)
    • ►  Februari 2014 (2)
  • ►  2013 (7)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  Agustus 2013 (2)
    • ►  April 2013 (2)
    • ►  Januari 2013 (2)
  • ►  2012 (13)
    • ►  Desember 2012 (2)
    • ►  Oktober 2012 (1)
    • ►  September 2012 (1)
    • ►  Agustus 2012 (4)
    • ►  April 2012 (4)
    • ►  Februari 2012 (1)

Pinterest

Visitors

Followers

Populer Post

  • Review Dilan Bagian Kedua : Dia adalah Dilanku Tahun 1991
    Hai, karena saya lagi "libur" puasa dan kebetulan laptop kakak saya lagi nggak di pake, ijinkan saya melanjutkan kembali posting...
  • Bulan Ramadhan : Waktunya untuk Lebih Intropeksi Diri
    Hai, baru bisa  update posting #30hariproduktifmenulis. Sebenarnya ini murni karena kemalasan saya. Maafkan *salim*. Karena sekar...
  • Pengalaman Belanja Buku Via Online
    Tulisan ini tidak bermaksud untuk mempromosikan sebuah akun... Membeli dan membaca buku adalah salah satu hobi saya yang cukup konsist...
  • Pengalaman Menjalankan Diet GM
    Duh, sebenarnya geli ya bikin postingan tentang diet. Seumur hidup saya nggak pernah menjalankan diet karena badan saya pernah terlalu...
  • Jangan Terjebak Cinta yang Rumit
    Perlu di sadari, kehidupan cinta di kehidupan nyata sangat berbeda dengan kehidupan cinta dalam drama korea. Apapun bisa terjadi ...

Profil

Foto saya
Amelia Utami.
Random blogger. Kadang suka nulis serius, kadang galau, tapi lebih sering curhat.
Lihat profil lengkapku

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates