REVIEW NOVEL : Critical Eleven

by - Agustus 21, 2015

Gambar di ambil dari goodreads.com
Sinopsis :

Dalam dunia penerbangan, di kenal dengan istilah critical eleven, sebelas menit paling krisis di dalam pesawat-tiga menit setelah take off  dan delapan menit sebelum landing- karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah -delapan menit ketika senyum, tindak tanduk dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

****

Sebelum bahas review-nya, saya mau curhat sedikit. Saya agak kapok baca novel jenis metropop, salah satunya adalah karena tipe ceritanya hampir sama : gaya hidup hedon dan kebanyakan tokohnya sempurna banget. Tapi pas lagi beli buku di toko buku online, Critical Eleven membayangi pelupuk mata saya terus. (Alah!). Apalagi katanya ini cerita panjang dari cerpen Ika di kumcer Autumn Once More dan banyak mendapatkan pujian.
Setelah perang batin selama berminggu-minggu, (Iya, saya orangnya seribet itu kalau beli barang, termasuk buku), akhirnya memutuskan untuk beli karena tertarik membuat review-nya. Dengan ekspektasi NOL besar.

Daaaan ini lah hasilnya :


  1. Oke, mungkin ini sudah jadi khasnya novel metropop yang susah di hilangkan : banyak kata-kata bahasa Inggris dan dialog gado-gado Indonesia-Inggris. Di halaman-halama awal, saya baca sambil di temani oleh google translate. Serius! Entah karena kemampuan bahasa Inggris saya belum jago atau kata-kata Inggris Ika terlalu njlimet. But thanks God, di halaman-halaman selanjutnya, dialog bahasa Inggrisnya lebih mudah di mengerti. 
  2. Ika menjelaskan sesuatu dengan cara berputar-putar. Mengajak pembaca untuk membaca informasi-informasi yang di tulisnya sebelum sampai ke inti cerita. Membahas tentang kopi, judul-judul film (saya menyerah membaca judul-judulnya, yang saya tau cuma film Breakfast at Tiffany's yang di sebutkan disana), judul-judul buku dan tempat-tempat makan di Jakarta (mulai pinggir jalan sampai fancy place). Awalnya saya antusias, tapi lama-lama agak jenuh. Kenapa nggak langsung ke inti ceritanya aja sih? 
  3. Terlepas dari itu, I like the information that is given by Ika. Yes, sure, menambah informasi baru. Termasuk saya jadi tau jenis-jenis kopi, kerjaan management consultant itu gimana dan oh yeah harga sepatu Louboutin! Jadi, suatu hari kalau saya jadi orang kaya raya (ngimpi dulu boleh ya?), saya nggak kaget atau baca istighfar berkali-kali pas mau beli sepatu dengan harga yang hampir sama dengan harga cicilan KPR.
  4. Ceritanya sebenarnya biasa. Tentang konflik rumah tangga. Tapi Ika "meraciknya" cantik banget. Alurnya maju-mundur, tapi smooth dan nggak bikin bingung. Konfliknya dapet. Diceritakan dengan sudut pandang Ale dan Anya secara bergantian. Berhasil membuat saya sirik, baper, senyam-senyum dan terharu dalam waktu yang berdekatan!
  5. I love so damn much, Ale! Terserah orang-orang pada suka Harris, adik Ale. (sudah di ceritakan Ika dalam novel Antalogi Rasa). Saya tetap lebih milih Ale. Saya suka dia memperlakukan istrinya dan karena dia rajin sholat (hahaha penting nggak sih?). But come on, kalau ada cowok ganteng, kaya, baik hatinya kurang ajar banget, plus rajin sholat, kenapa nggak pilih dia? Iya, kan? *swing swing
  6. Saya nggak terlalu simpati sama Anya. Menurut saya dia itu agak-agak selfish, childish,...whatever it! Saya tau dia berduka dan terluka, tapi tapi tapi dia nggak buta kan kalau Ale cinta mati sama dia dan mau memperbaiki kesalahannya dengan tulus? zzzz.
  7. Endingnya. Saya bengong beberapa detik pas baca halaman terakhir. "Eh, beneran ini udah beres?". Lah, bener. Udah beres. Antara lega dan nggak rela ceritanya selesai. Yaaah padahal saya mau tau reaksi Ale waktu Anya kasih tau kalau dia...*ah udah ah tar spoiler
  8. Suka covernya dan pembatas bukunya yang bergambar boarding pass. Unik aja sih.
  9. Banyak kata-kata quoteble yang berseliweran. Favorit saya adalah :

"It's even said that expectation is the root of all disappoinment" (hal.14)

Yes, right. Kata saya dalam hati.

"Orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita" (hal 252)


****

Well, saya harus mengakui, Critical Eleven menjadi novel metropop pertama favorit saya. Ika masih memasukkan barang-barang branded dan tempat-tempat fancy, tapi space-nya tidak dominan. Hanya selintas-selintas di sebutkan. Ika concern pada cerita, pada konflik yang di bangunnya dan...berhasil menurut saya. I'm totally agree Critical Eleven is the most anticipated book of the year!

notes : 
Saya perhatiin kayanya penulis novel Indonesia ini sukanya memilih profesi untuk tokoh utama laki-lakinya adalah tukang ngebor minyak di luar negeri. Entah di negara manapun. Di novel 23 Episentrum, tokoh Prama, bekerja di Kilang Minyak di luar negeri. Di novel Sabtu Bersama Bapak pun demikian, di ceritakan tokoh Satya berprofesi sejenis. And then now...Critical Eleven!. Kayanya suka yang ngebor-ngebor ya? hihihi.

Love.
Amelia Utami.

You May Also Like

0 komentar