Mengenang Bapak (Bagian 1) : Hubungan Tidak Sempurna.

by - Januari 23, 2020

Tidak terasa sudah lima bulan Bapak meninggalkan kami untuk selamanya. Jika itu terjadi saat usia saya masih kecil, mungkin saya tidak akan sekuat sekarang dalam menghadapinya. Mungkin saya akan meraung setiap hari, tidak berhenti bertanya keberadaan Bapak, hingga perasaan sedih yang meninggalkan luka mendalam. Allah itu adil dalam memberi cobaan pada hambanya. Satu paket dengan hikmah yang tidak pernah dipikirkan oleh manusia. Kehilangan salah satu orang tua di usia dewasa tidak memberikan saya banyak waktu untuk bersedih. Ada tanggung jawab besar yang menghadang lebih dari sekadar meratapi nasib : menjaga Ibu agar tetap sehat dan bahagia, merawat hubungan kakak adik agar semakin dekat, hingga memotivasi diri sendiri agar melanjutkan hidup lebih baik.

Hubungan saya dan bapak jauh dari kata sempurna. Sebagai anak, saya masih banyak kekurangan. Begitu juga Bapak sebagai orang tua. Perbedaan itu seringkali dalam beberapa hal menimbulkan selisih paham, sikap keras kepala dalam mempertahankan pendapat, dan mengurut dada karena tak sabar menahan emosi. Saya ingat di tahun 2017 kami tak saling bicara selama tiga hari. Hanya karena masalah ta’jil buka puasa yang telat disajikan. Bapak tiba-tiba marah  dan kami terpancing ikut-ikutan marah. Bapak “kabur” menginap di rumah nenek saya karena mungkin merasa kesal. Dampaknya melebar, yaitu Bapak tidak mau mengantar saya ke kantor dan tidak mau bicara dengan kami.

“Orang udah tua kok kelakuannya masih kaya bocah!”

Ya, saya pernah berkata demikian. Saya mempertahankan sifat “keras kepala” dengan satu alasan : saya benar dan tidak melakukan kesalahan. Saya ingin menjadi anak yang tidak hanya “diam” saat orang tua marah dengan alasan yang tidak masuk akal. Sebagai anak, saya memiliki hak membela diri. Tidak peduli siapa yang sedang dihadapi. Namun, pada akhirnya saya menyesal. Sebenarnya kami hanya butuh saling pengertian karena kami bukan tipikal orang yang suka berkata manis dalam mengekspresikan sesuatu. Bapak mungkin tidak tahu cara (atau gengsi) mengatakan tolong, maaf, atau terima kasih. Sementara kami (anak-anak dengan pemikiran yang jauh lebih modern) membutuhkan tiga kata penting itu demi tidak menyimpan luka batin berkepanjangan.

Komunikasi adalah hal terbesar yang mengganggu hubungan saya dan bapak. Lain hari, saya merasa kecewa dengan kata-kata yang beliau lontarkan. Juga dengan perbandingan-perbandingan yang mengecilkan hati saya sebagai anak karena merasa tidak dihargai. Stigma anak harus nurut dan orang tua selalu benar bagai pakem yang tidak bisa diubah, meski saya sudah melawan sekuat tenaga. Pada akhirnya, saya tetap mengalah karena tidak mau dianggap anak durhaka. Tapi jika direnungkan lagi dari sisi Bapak, mungkin ada banyak hal terlewat yang menyebabkan Bapak tidak luwes dalam menunjukkan kasih sayangnya pada anak. Kejadian masa lalu bisa jadi penyebabnya.

Bapak pernah bercerita, semasa hidupnya lebih banyak melewati hal-hal yang berat ketimbang moment-moment bahagia. Bapak bukan berasal dari keluarga kaya, tapi Bapak jelas pejuang hidup paling hebat. Bapak pernah makan telur ceplok dibagi dua dengan kakaknya, pernah berhenti sekolah selama setahun karena tidak ada biaya dan harus mengalah bergantian dengan saudaranya, serta pernah berjualan buah-buahan di stasiun kereta. Saking kerasnya kehidupan, mungkin Bapak tidak sempat merasakan kasih sayang dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Sehingga yang lebih sering keluar adalah sisi buruknya, ketimbang sisi lembutnya yang saya percaya jauh lebih banyak.

Saya pernah bilang ke salah satu teman, Bapak adalah orang paling galak, tapi Bapak juga orang yang sering membuat saya menangis hanya karena menatap wajahnya. Kedengarannya tidak masuk akal, apalagi jika sudah kesal dengan ucapan Bapak, saya bisa kecews sampai tidak mau keluar kamar. Namun, di moment-moment tertentu, ikatan batin ayah dan anak tidak bisa dibohongi. Bapak tetap terbaik. Bapak tidak bisa digantikan oleh laki-laki manapun.

Ketika saya sakit, orang yang siaga mengantar ke dokter 24 jam adalah Bapak. Ketika saya membutuhkan jemputan malam-malam setelah berpergian, Bapak rela menahan kantuk agar bisa mengantar saya selamat sampai rumah. Ketika hujan turun deras, Bapak rela menjemput dan mengantar saya ke kantor hanya bermodalkan jaket tipis. Sampai beberapa hari sebelum beliau meninggal, Bapak masih sempat menjemput saya ke kantor dan memastikan saya pulang dengan selamat. Ketika ada laki-laki yang main ke rumah, saya tahu beliau khawatir laki-laki itu tidak baik, tapi beliau tidak mau saya kecewa. Jadi, beliau hanya diam dan pura-pura bersikap galak.

Begitu juga dengan saya. Semarah-marahnya pada Bapak, saya tidak pernah tega membiarkan orang lain melukai hatinya. Setiap Bapak sakit, diam-diam saya pergi ke kamar hanya untuk mengecek apakah Bapak masih bernapas atau tidak. Saya kelihatannya anak yang cuek, tapi saya diam-diam khawatir jika Bapak belum pulang ke rumah atau Bapak pergi tanpa kabar. Lagi-lagi bentuk kasih sayang itu tidak bisa saya ungkapkan lewat kata-kata langsung. Hanya berupa tindakan yang Bapak juga tidak pernah tahu. Maka tidak heran, Bapak sering bilang, saya tipe anak yang tidak peduli. Padahal setiap berdoa, nama beliau tidak pernah absen dari mulut saya. Meski dalam beberapa hal sikap Bapak menyebalkan, tapi saya selalu mencoba memberi perhatian kecil pada beliau.

Sebelum usia dewasa dan memasuki keras kepala, hubungan kami sesungguhnya jauh lebih hangat. Moment yang tidak akan saya lupakan adalah Bapak tidak pernah lupa membelikan kami oleh-oleh setiap pulang dinas kerja dari Lembang. Bapak adalah pekerja keras. Lebih dari puluhan tahun bolak-balik kerja Jatibarang-Cirebon hanya mengendarai motor. Kami sering meledek kulitnya berubah hitam karena sering terkena sinar matahari. Tapi dari tangan gigih Bapak, kami semua bisa kuliah di luar kota dan berhasil menyandang gelar sarjana. Sesuatu yang tidak bisa Bapak capai karena kendala biaya dan keadaan.

Ibu pernah cerita, Bapak tidak pernah mengambil cuti kerja karena lebih baik uang cutinya dipergunakan untuk biaya pendidikan. Kami pernah melewati masa-masa keuangan yang sulit hingga tidak punya kesempatan untuk pergi wisata atau membeli barang-barang canggih. Sampai akhir hidupnya, Bapak hanya memiliki ponsel nokia yang masih saya simpan hingga sekarang. Beliau belum sempat menyaksikan video youtube lebih lama, berkirim pesan lewat WhatsApp, atau mencari berita lewat pencarian google. Ketika saya berhasil membeli HP baru dari hasil berjualan baju secara online, Bapak sempat berkata : “Tadi-tadi HP lamanya buat Bapak aja.” Nada bicaranya bercanda, tapi saya tahu beliau menginginkannya.

Meski hubungan kami tak selalu harmonis, Bapak tetap meninggalkan memori indah bagi saya. Ketika beliau selesai membersihkan rumah, Bapak selalu bertanya pada saya : “Dapet nilai berapa, Mi?” dan saya pasti selalu menjawab dengan nilai sembilan karena Bapak memang paling apik dan rajin dalam membersihkan rumah. Saat beliau sudah tidak ada, tugas itu saya teruskan. Saya pastikan kaca jendela rumah selalu bersih, rumput di halaman dipangkas secara teratur, bunga-bunga disiram, dan mengepel lantai sesering yang beliau lakukan. Beliau juga rajin sekali sholat subuh berjamaah di Masjid, maka sebisa mungkin kami meneruskannya. Raga Bapak boleh saja pergi, tetapi kebiasaan baik Bapak saya pastikan tidak akan pernah hilang. Membayangkan Bapak sedang duduk di alam sana dengan tenang adalah upaya yang akan selalu kami lakukan.

Tidak ada orang tua yang sempurna, tapi Bapak mengajarkan satu hal : cinta anak pada orang tua akan abadi selamanya.



Love.
Amelia Utami

You May Also Like

0 komentar