Kenangan Spiritual dan Mendidik Anak ala Ibu

by - Oktober 06, 2014


Dibandingan dengan bapak, ibu saya jauh lebih galaaak dalam mendidik anak. Mungkin karena bapak bekerja seharian di kantor (pergi pagi-pulang malam), sehingga peran mendidik anak-anak lebih banyak di serahkan pada ibu yang bekerja di rumah.

Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, sejak kecil saya sudah di didik "keras" oleh ibu. Meskipun hanya ibu rumah tangga, pekerjaan ibu saya ternyata lebih merepotkan. Itulah yang menyebabkan ibu mengajarkan disiplin dan mandiri sejak saya masih kecil. Ketika TK, saat teman-teman saya masih di antar dan di temani oleh ibunya setiap hari, saya malah pergi sendiri tanpa ditemani oleh ibu. Ibu hanya sesekali menemani dan menjemput.

Dalam urusan spiritual, ibu juga lebih "galak" dari bapak. Sejak TK, saya sudah dimasukkan ke sekolah madrasah. Ketika saya mengeluh tidak mau berangkat sekolah mengaji (karena waktunya adalah siang hari dimana jam tidur siang dan ada telenovela anak-anak kesukaan saya), ibu tidak segan-segan menjewer telinga saya atau memarahi saya. Tidak ada ruang bagi saya untuk mencari-cari alasan agar tidak berangkat sekolah mengaji, sekalipun alasannya adalah istirahat tidur siang.

Malam harinya, ibu mewajibkan anak-anaknya untuk pergi ke Musholla untuk sholat maghrib dan isha berjamaah dan mengaji Al-Quran. Ibu juga sampai mengundang ustad ke rumah untuk mengajari saya belajar Iqra, Juz 'Amma sampai lancar membaca Al-Quran. Tidak ada ruang juga bagi saya untuk membolos dari rutinitas ini. Bahkan ibu pernah memukul saya ketika saya malas mengaji dan menghafal surat-surat pendek.

Dalam urusan belajar, ibu termasuk orang tua yang sistematis dalam menjadwal anaknya belajar. Meskipun ibu hanya lulusan SMA, tapi ibu tidak mau main-main dalam masalah pendidikan anaknya. Setiap hari sejak saya SD sampai SMA ibu menjadwal saya belajar dan tak segan ibu ikut menemani saya belajar. Satu minggu dua kali ibu mengundang seorang guru privat agar saya lebih fokus dan lebih memahami pelajaran yang di ajarkan di sekolah. Saya pun tidak diperbolehkan menonton tv sebelum saya belajar.
Berkat didikan ibu itu, saya selalu mendapat ranking di kelas dan saya hampir tak pernah mengecewakan beliau. Saya sempat kecewa ketika saya masuk perguruan tinggi swasta, tapi ibu membesarkan hati saya, bahwa yang namanya menuntut ilmu tidak bisa dibatasi oleh perguruan tinggi negeri atau swasta. Semua sama saja. Tergantung pada pribadi kita. Dan saya pun bisa menjalankan masa kuliah saya dengan baik dan lulus tepat waktu dengan nilai yang memuaskan.

Dalam urusan pergaulan, ibu termasuk orang tua yang kolot. Tidak membebaskan saya untuk main sesuka hati saya. Pulang sekolah saya harus tepat waktu, tidak boleh main ke rumah teman. Tidak boleh berkeliaran kemana-mana. Makan pun harus dirumah. Ibu juga harus tau siapa teman-teman saya dan rumahnya dimana. Maka dari itu saya termasuk anak yang homey, lebih suka menghabiskan waktu dirumah daripada bermain kemana-mana bersama-sama teman-teman. Dulu saya sempat iri melihat teman-teman yang dibebaskan oleh orang tuanya pergi kemana pun.
Saat saya menjadi anak kost dan kuliah di Bandung, tidak lantas membuat pengawasan ibu menjadi longgar. Ibu menelfon saya setiap hari, minimal lima kali sehari. Hanya sekedar menanyakan saya sudah makan belum atau saya ada dimana. Ibu tak segan memarahi saya jika saya belum sampai tempat kost padahal hari sudah malam. 

*****

Kini usia saya 22 tahun...

Saya baru merasakan manfaat dari didikan "keras" ibu. Di saat banyak teman-teman saya terjebak dalam pergaulan bebas, saya bersyukur teramat sangat memiliki orang tua yang menjaga saya dengan sangat erat. Disaat beberapa teman saya malas menuntut ilmu, saya bersyukur teramat sangat memiliki orang tua yang mendidik saya sejak kecil bahwa ilmu adalah jembatan menuju masa depan yang lebih baik. 

Sama seperti anak-anak lainnya, saya pun memiliki periode bandel dan nakal. Itu terjadi ketika saya SMP sampai SMA. Bandel saya terbilang parah karena menyangkut masalah spiritual. Saat itu saya tidak bandel dengan belajar saya disekolah tapi saya bandel karena mulai malas sholat dan mengaji. Saya kering iman. Jiwa saya kurang hidup. Jarang bersyukur dan lain-lain.

Periode itu berakhir ketika saya masuk kuliah. Berakhirnya pun unik, yaitu tiba-tiba saya ingat dengan kenangan masa kecil dimana senang mengaji Al-Quran dan kaki ini ringan menuju Mushola untuk sholat berjamaah. Kenangan itu sangat membekas di hati saya dan menimbulkan kerinduan. Rindu untuk berdekatan mesra dengan Yang Maha Kuasa. 
Setelah itu saya memutuskan untuk mengenakan hijab dan kembali mempelajari agama lebih baik lagi. 

Kelak, semoga saya dapat menjadi seorang ibu yang dapat membawa kehidupan anaknya lebih baik lagi...
Seperti yang sudah di ajarkan oleh ibu saya.


Cheeers!
Amelia Utami

You May Also Like

0 komentar