The Naked Traveler Anthology : Horror
Sebelum me-review bukunya, saya mau sedikit curhat dulu. Sebenarnya saya merasa bersalah, tepatnya pada diri saya sendiri karena postingan pertama di tahun 2016 ini baru dimulai di bulan Februari. Telat banget kan? huhuhu. Karena kesibukan saya bekerja yang hampir tiap hari pulang malam, saya nggak punya waktu dan energi untuk menulis. Padahal di kepala kecil saya ini sudah banyak ide-ide berterbangan, tapi terpaksa ditahan-tahan dan akhirnya....lupa! Hahaha.
Cukup disini curhatnya,mari kita mulai review bukunya. ^^
Gambar di ambil dari bentangpustaka.com |
Saya memutuskan untuk membeli novel ini karena dua alasan :
- Penasaran. Walaupun saya anaknya penakut, tapi membaca cerita horror saat travelling bagi saya adalah hal menarik. Travelling yang identik dengan kegiatan have fun justru tidak lepas dari kejadian-kejadian ganjil yang tidak terlupakan. Dan membaca cerita horror travelling tentu feel-nya sangat berbeda dengan menonton film horror. Imajinasi kita lebih "hidup" dan rasakan sendiri sensasinya hahaha.
- Novel ini ditulis rame-rame. Bukan hanya oleh mbak Trinity saja, tapi juga oleh sebelas traveler lainnya. Ini juga menarik karena setiap traveler pasti punya cerita horror masing-masing.
Dari sebelas cerita horror yang ditulis, hanya tiga cerita saja yang membuat saya benar-benar merinding dan minta ditemenin ke kamar mandi hahaha.
- Oh No, Nagano! (Trinity)
Rasanya tepat sekali menempatkan Oh No, Nagano! sebagai cerita pembuka. Masih dengan gaya khas penulisan Trinity, cerita ini berhasil membuat saya merinding dan sempat terbayang-bayang. Nggak tau kenapa pas baca saya keingetan hantu Sadako dan sudah tidak diragukan lagi bahwa hantu-hantu Jepang adalah yang paling seram. Jangan lupakan ilustrasinya yang benar-benar bikin nggak bisa lupa sama ceritanya.
- Gedebug! (Ariy)
Urutan kedua ada Gedebug! Saya ini dari kecil suka banget baca cerita horror dari bangunan-bangunan tua penginggalan zaman penjajahan Belanda. Seperti ada nilai history-nya gitu, bukan hanya cerita horror biasa. Nah, cerita Gedebug! ini kebetulan lokasinya di Semarang, nggak jauh dari Lawang Sewu. Nah, baca sendiri deh!
- Bermalam Jumat di Balai Desa Little Batavia (Rocky Martakusumah)
Ini juga sama nih. Lokasinya di Lebong Tandai, kawasan tambang emas yang terkenal pada zaman penjajahan Belanda. Emas yang ada di tugu Monas berasal dari sana. Julukannya kala itu adalah "Batavia Kecil". Menurut saya yang membuat seram justru bukan cerita horror yang di alami oleh sang penulis, tapi justru perjalanan penulis menuju tempat itu. Bayangkan kalau kamu ada di rombongan mereka, malem-malem naik kereta mini bernama "molek", yaitu kereta kayu kecil bermesin diesel 10 PK yang digunakan untuk menyusuri hutan belantara sekitar tiga hingga empat jam, bo!
...sering kali molek nyasar ke luar jalur dan penumpang harus turun untuk gotong royong mengangkat molek kembali ke rel (hal 131)
Duh...nggak kebayang gimana seremnya! Belum lagi hutannya masih lebat. Gimana kalau ada harimau Sumatera nongol? atau makhluk-makhluk lainnya? Hiiiiiiy!!!
****
Cerita lainnya, bagi saya tidak terlalu seram. Bahkan ada yang tidak seram sama sekali dan sempat membuat kening saya keriting. Itu cerita horror atau lagi curhat? Saking booring-nya! Jadi, buat kamu-kamu yang penakut seperti saya, jangan takut. Percaya deh, novel ini nggak begitu seram, hanya sedikit menakutkan.
Bintang 4 dari 5.
Love.
Amelia Utami
1 komentar
wow info yang menarik kak kalau ingin tahu cara membuat website yukk disini saja. terimakasih..
BalasHapus