Beginning a New Life
Tanggal 06 Oktober 2018 merupakan hari "bersejarah" bagi saya. Hari itu saya resmi mengundurkan diri. Setelah berkali-kali kata resign hanya ada di angan-angan dan diucapkan hanya sebatas omongan, nggak nyangka akhirnya sekarang malah menjadi kenyataan.
Keinginan resign ini panjang banget kalau diceritain. Dari sekian banyak alasan, saya lebih memilih alasan personal yang melatarbelakanginya. Berhubung saya tipe introvert, yang lebih suka memendam perasaan ketimbang bicara, maka saya akan mencoba mengutarakan perasaan saya lewat tulisan.
Sebagai anak yang tumbuh di keluarga konvensional, indikator kesuksesan seorang anak cenderung linear dan bersifat mengikuti norma-norma pada umumnya : lulus kuliah, kemudian bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Mindset ini tanpa sadar tertanam sejak dini, bahkan sekalipun saya memiliki cita-cita lain, pada akhirnya saya "terdampar" pada kenyataan dan menyerah pada mindset yang terlanjur ditanam. Sepintas memang tidak ada masalah, kan? Toh, gimana pun realitas memang berbicara begitu. Saya butuh uang untuk kebutuhan hidup, jadi saya sempat berpikir, "sudah lah takdir saya memang di bidang ini. Yang penting dapat gaji buat belanja, jalan-jalan, dan bantu orang tua. Itu udah bikin saya bahagia."
***
Sebagai anak yang tumbuh di keluarga konvensional, indikator kesuksesan seorang anak cenderung linear dan bersifat mengikuti norma-norma pada umumnya : lulus kuliah, kemudian bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Mindset ini tanpa sadar tertanam sejak dini, bahkan sekalipun saya memiliki cita-cita lain, pada akhirnya saya "terdampar" pada kenyataan dan menyerah pada mindset yang terlanjur ditanam. Sepintas memang tidak ada masalah, kan? Toh, gimana pun realitas memang berbicara begitu. Saya butuh uang untuk kebutuhan hidup, jadi saya sempat berpikir, "sudah lah takdir saya memang di bidang ini. Yang penting dapat gaji buat belanja, jalan-jalan, dan bantu orang tua. Itu udah bikin saya bahagia."
Tapi benar kata orang...
Ada beberapa kebahagiaan yang tidak bisa di ukur hanya dengan rezeki berbentuk materi. Kegelisahan itu muncul di tahun kedua saya bekerja. Untuk kali pertama saya menemukan diri saya tidak memiliki motivasi, tidak bersemangat, tidak tahu tujuan hidup saya apa, dan merasa kosong. Hidup seperti menekan tombol repeat : tidur, makan, berangkat kerja, tidur. Kalau pun ada yang membuat saya tetap waras, itu adalah hobi tercinta saya : menulis, nonton drakor, dan membaca buku **ditipuk.
Selama ini saya mencoba bertahan dengan pikiran serealistis mungkin : "mencari pekerjaan itu susah, loh. Kamu pernah merasakannya." Ya, saya pernah merasakan susahnya mencari pekerjaan. Sampai hal klise yang sering digaungkan banyak orang : "di luar sana masih banyak orang-orang yang berjuang mencari pekerjaan." Once again yes, thats true. Saya bukan tidak memikirkan. Saya berpikir ribuan kali. Dan pada akhirnya, saya memilih bertahan. Lebih pada ketakutan saya pada hal-hal yang akan terjadi dan ketidakberdayaan saya mengatasi rasa takut itu.
Sebagai seorang Muslim akhirnya saya hanya bisa berdoa. Doa yang paling saya ingat adalah doa setelah sholat dzuha yang isinya : "Ya Allah, jika pekerjaan saya adalah yang terbaik, tolong kuatkan saya untuk bertahan. Tapi jika tidak, tolong berikan yang lebih baik." Berkali-kali berdoa, berkali-kali diyakinkan untuk bertahan. Saya tetap berdoa. Saya tetap minta diyakinkan.
Kemudian pada awal bulan September saya mendapatkan email dari HRD bahwa saya akan di rolling ke kantor yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Saya sudah punya feeling bahwa orang tua tidak akan mengizinkan. Terus tiba-tiba saya teringat oleh doa saya. Meskipun begitu saya ingin mencoba meminta izin. Saya ingin tahu jawaban mereka.
"Bu, aku dipindah ke kantor sana."
Ibu udah pasang tampang nggak enak (hahaha).
"Udah lah resign aja."
"Kenapa?"
"Kejauhan."
"Yakin?"
"Iya, lagian mungkin memang sudah jalannya. Bukan yang terbaik."
PERSIS SEPERTI DOA SAYA PEMIRSAAAH!
Kemudian coba ke Bapak. Biasanya beliau lebih cerewet karena nasehat-nasehatnya. Alamak, belum ngomong apa-apa mata saya udah berkaca-kaca. Ngebayangin mungkin ini akan melukai hati beliau yang selama ini setia mengantar jemput saya ke kantor.
"Pak..."
"Iya, udah keluar aja."
Ebuset belum ngomong apa-apa.
"Beneran?"
"Emang berani naik bus sendirian kalau pulang malam?"
"Ya nggak"
"Gaji kamu berapa?"
"Segini *sebutin angka*"
"Alah, bakal boros kalau ngekost juga."
HAHAHA PENGEN KETAWA.
KEMUDIAN MENATAP SEDIH SALDO TABUNGAN
Setelah itu saya jadi ingat ucapan teman : "Ami, kalau belum menikah ridho Allah ada di tangan orang tua. Jika orang tua ridho, maka Allah juga ridho."
INI KOK KAYA LAGI MENCARI JODOH YA?
Terakhir dan yang paling penting, adalah bertanya pada diri sendiri. Beberapa hari saya merenung. Mencoba mendengar isi hati meskipun saya orangnya nggak peka. Jangan kan mempelajari petunjuk semesta, isi hati aja sering diabaikan. Belum apa-apa pikiran buruk sudah menggelayuti (haha bahasanya berat)
"Aduh, gimana kalau nanti susah cari pekerjaan lagi?"
"Gimana kalau mau belanja di online shop?" (teteup ya teteuup)
"Gimana kalau mau travelling?"
Dan seribu pertanyaan gimana gimana lainnya. Lambat laun keputusan itu datang, bersamaan dengan hati yang mantap. Ya pastinya ada banyak komentar.
"Yakin? Susah loh cari kerja tuh."
"Sayang banget udah karyawan tetap."
"Nggak mau coba dulu?"
"Harusnya bersyukur masih kerja."
Dan banyak lagi.
Awalnya jadi ragu lagi, tapi saya lebih memilih berpikir positif. Lagian banyak teman yang kasih semangat, jadi makin yakin dengan keputusan yang dibuat. Ini sih yang bikin terharu. Mereka nggak menghakimi keputusan saya.
Percayalah, nggak ada orang yang mau kehilangan pekerjaan. Se-nggaknyamannya dengan lingkungan kerja, jika dia masih memiliki alasan untuk bertahan, ya dia akan bertahan.
Saya tahu keputusan ini mengandung resiko besar, tapi saya ingin memberikan kesempatan pada diri saya untuk mencoba. Mencoba sesuatu yang saya yakini. Dan memutuskan resign di usia produktif bukan hal yang mudah. Ini seperti gambling. Kalau dibilang nggak takut itu bohong banget. Saya masih takut sampai sekarang. Gimana pun saya juga manusia biasa, bukan malaikat apalagi bidadari.
Di hari pertama saya tidak bekerja, pagi hari Ibu langsung bertanya :
"Ami, nggak lagi ingat kerja,kan?"
Saya tahu Ibu khawatir, padahal saya baik-baik saja. Saya akui, ada rasa kosong di dalam hati, tapi bagi saya itu wajar. Seperti kita beradaptasi dengan suasana baru. Perlu waktu. Dan saya yakin, saya bisa bangkit lagi.
Rasa takut biasanya di iringi dengan rasa berani dan rasa berani di iringi dengan keyakinan. Itu betul loh. Kalau takut gagal terus, kita nggak tahu kan kesempatannya datang kapan lagi? Hidup adalah pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang dihadapi.
Jadi, kalau ada yang bertanya rencana saya selanjutnya apa, jawaban saya tetap sama : saya punya rencana, tapi sementara akan menjalani hidup dengan apa yang saya hadapi nanti. Saya tidak memaksa orang lain untuk mengerti jalan pikiran saya. Yang jelas saya menikmati kebebasan ini. Menikmati untuk memilih apa yang saya inginkan.
Mudah-mudahan saya bisa menjadi manusia yang bukan hanya "sekadar hidup", tapi juga "benar-benar hidup". Manusia yang bukan hanya menerima manfaat, tapi juga dapat memberi manfaat.
I will walk on my way,
I will shining with my light,
and I will find my dreams.
Love,
Amelia Utami
"Bu, aku dipindah ke kantor sana."
Ibu udah pasang tampang nggak enak (hahaha).
"Udah lah resign aja."
"Kenapa?"
"Kejauhan."
"Yakin?"
"Iya, lagian mungkin memang sudah jalannya. Bukan yang terbaik."
PERSIS SEPERTI DOA SAYA PEMIRSAAAH!
Kemudian coba ke Bapak. Biasanya beliau lebih cerewet karena nasehat-nasehatnya. Alamak, belum ngomong apa-apa mata saya udah berkaca-kaca. Ngebayangin mungkin ini akan melukai hati beliau yang selama ini setia mengantar jemput saya ke kantor.
"Pak..."
"Iya, udah keluar aja."
Ebuset belum ngomong apa-apa.
"Beneran?"
"Emang berani naik bus sendirian kalau pulang malam?"
"Ya nggak"
"Gaji kamu berapa?"
"Segini *sebutin angka*"
"Alah, bakal boros kalau ngekost juga."
HAHAHA PENGEN KETAWA.
KEMUDIAN MENATAP SEDIH SALDO TABUNGAN
Setelah itu saya jadi ingat ucapan teman : "Ami, kalau belum menikah ridho Allah ada di tangan orang tua. Jika orang tua ridho, maka Allah juga ridho."
INI KOK KAYA LAGI MENCARI JODOH YA?
Terakhir dan yang paling penting, adalah bertanya pada diri sendiri. Beberapa hari saya merenung. Mencoba mendengar isi hati meskipun saya orangnya nggak peka. Jangan kan mempelajari petunjuk semesta, isi hati aja sering diabaikan. Belum apa-apa pikiran buruk sudah menggelayuti (haha bahasanya berat)
"Aduh, gimana kalau nanti susah cari pekerjaan lagi?"
"Gimana kalau mau belanja di online shop?" (teteup ya teteuup)
"Gimana kalau mau travelling?"
Dan seribu pertanyaan gimana gimana lainnya. Lambat laun keputusan itu datang, bersamaan dengan hati yang mantap. Ya pastinya ada banyak komentar.
"Yakin? Susah loh cari kerja tuh."
"Sayang banget udah karyawan tetap."
"Nggak mau coba dulu?"
"Harusnya bersyukur masih kerja."
Dan banyak lagi.
Awalnya jadi ragu lagi, tapi saya lebih memilih berpikir positif. Lagian banyak teman yang kasih semangat, jadi makin yakin dengan keputusan yang dibuat. Ini sih yang bikin terharu. Mereka nggak menghakimi keputusan saya.
Percayalah, nggak ada orang yang mau kehilangan pekerjaan. Se-nggaknyamannya dengan lingkungan kerja, jika dia masih memiliki alasan untuk bertahan, ya dia akan bertahan.
Saya tahu keputusan ini mengandung resiko besar, tapi saya ingin memberikan kesempatan pada diri saya untuk mencoba. Mencoba sesuatu yang saya yakini. Dan memutuskan resign di usia produktif bukan hal yang mudah. Ini seperti gambling. Kalau dibilang nggak takut itu bohong banget. Saya masih takut sampai sekarang. Gimana pun saya juga manusia biasa, bukan malaikat apalagi bidadari.
Di hari pertama saya tidak bekerja, pagi hari Ibu langsung bertanya :
"Ami, nggak lagi ingat kerja,kan?"
Saya tahu Ibu khawatir, padahal saya baik-baik saja. Saya akui, ada rasa kosong di dalam hati, tapi bagi saya itu wajar. Seperti kita beradaptasi dengan suasana baru. Perlu waktu. Dan saya yakin, saya bisa bangkit lagi.
Rasa takut biasanya di iringi dengan rasa berani dan rasa berani di iringi dengan keyakinan. Itu betul loh. Kalau takut gagal terus, kita nggak tahu kan kesempatannya datang kapan lagi? Hidup adalah pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang dihadapi.
Jadi, kalau ada yang bertanya rencana saya selanjutnya apa, jawaban saya tetap sama : saya punya rencana, tapi sementara akan menjalani hidup dengan apa yang saya hadapi nanti. Saya tidak memaksa orang lain untuk mengerti jalan pikiran saya. Yang jelas saya menikmati kebebasan ini. Menikmati untuk memilih apa yang saya inginkan.
Mudah-mudahan saya bisa menjadi manusia yang bukan hanya "sekadar hidup", tapi juga "benar-benar hidup". Manusia yang bukan hanya menerima manfaat, tapi juga dapat memberi manfaat.
I will walk on my way,
I will shining with my light,
and I will find my dreams.
Love,
Amelia Utami
0 komentar