Tidak Mudah Melawan Perasaan Depresi

by - Oktober 21, 2019

Pinterest
Saya masih ingat kejadian tahun 2012. Tahun paling buruk selama hidup saya dan sialnya saat itu saya masih kuliah semester empat dan tinggal jauh dari orang tua. Diawali dengan sakit flu karena begadang semalaman membaca sebuah novel, besok paginya semua mendadak berubah. Saya merasa seperti bukan diri saya, saya merasa jiwa yang bersemayam di tubuh bukan lah diri saya. Saya tidak mengenali siapa yang ada di dalam.

Pikiran waras saya berontak, tapi selalu berakhir dengan rasa letih luar biasa yang juga tidak saya kenali. Mood turun drastis. Rasanya berat sekali turun dari tempat tidur padahal seharian saya tidak melakukan kegiatan apa pun. Sekali lagi, saya masih berpikir waras. Mungkin saya memang sakit flu. Pergi lah saya ke apotek dekat kampus. Ajaibnya, dokter bilang tidak apa-apa hanya kelelahan saja. Sejujurnya, saya tidak puas dengan jawabannya karena saya merasa tidak lebih baik. Saya justru ketakutan. 

Hari-hari selanjutnya seperti mimpi buruk. Bukan hanya malas beranjak dari tempat tidur, saya juga jadi malas makan, mandi, dan bersih-bersih kamar kost. Cucian baju saya biarkan menumpuk dan kehilangan selera makan. Saya lebih sering menangis karena benar-benar merasa saat itu bukan lah diri saya. Saya suka kerapian dan kebersihan, makan saya lahap, dan saya lebih banyak tertawa. 

Saya masih terus melawan dengan berpikir positif dan bercerita ke teman-teman dekat. Namun, saya akui saat itu tidak banyak yang peduli. Ada yang bilang saya mulai gila. Saya tidak bisa juga menyalahkan mereka karena kondisi saya yang memang tidak stabil. Cerita ke orang tua juga sudah, tapi apa daya mereka juga fokus pada penyembuhan kakak laki-laki saya yang mengidap OCD. 

Saya sendirian. Saya tetap melawan. Meski semakin hari semakin tidak terkendali. Bayangkan, tubuh dan jiwa kamu letih, tapi mata kamu tetap tidak bisa terpejam. Besok paginya seperti keajaiban kamu tidak mengantuk sama sekali. Ya, itu yang saya rasakan. Belum lagi, saya harus tetap tampil seolah baik-baik saja agar kegiatan kuliah saya dan hubungan sosial dengan teman-teman tetap berjalan. Meski beberapa kali setiap mengobrol, saya sering tidak fokus. Atau ketika mengobrol saya merasa senang, tapi begitu sampai tempat kost saya mendadak menangis tanpa sebab. Bahkan saya sempat ada pikiran ingin bunuh diri dengan cara melompat ke salah satu jembatan di Bandung. Sad, but true. Sempat ada dalam kondisi seputus asa itu. Kalau ada yang bilang saya kurang ibadah ya miris banget, karena kenyataannya dalam kondisi mental paling buruk pun saya tidak pernah meninggalkan sholat dan mengaji.

Ada satu hal yang saya sesali hingga detik ini, betapa saya tidak pernah mendapatkan bantuan ahli untuk menemukan jawaban dari rasa "sakit" saya. Terbawa stigma yang mengatakan saya kurang dekat sama Tuhan atau ada dosa yang harus saya tebus. Maka ketika itu, tidak ada pilihan lain. Hal yang bisa saya lakukan hanya sekuat diri melawan semampu saya. Dengan menahan "sakit" dan halusinasi yang mulai muncul, saya berusaha untuk keluar dari situasi kacau. Saya paksa banyak melakukan kegiatan di luar yang membuat saya tidak sendirian. Saya paksa juga sering mengobrol dengan teman-teman kost agar saya tidak banyak melamun. Setiap kali gagal dan berakhir menangis, saya berusaha untuk tetap berkegiatan. Hingga tak terasa saya mulai "lepas" dari semua itu sekitar satu tahun kemudian dan saya merasa sudah normal kembali.

Itu mimpi buruk mengerikan yang tidak mau terulang!

***

Pertanyaannya, apakah saya benar-benar lepas dari perasaan depresi?  Tentu tidak. Namun, saya (sejauh ini) tidak memiliki perasaan "mengerikan" yang membuat saya "lumpuh total" seperti dulu. Bedanya juga, diri ini jauh lebih menerima. Saya tidak mau lagi memaksa diri saya untuk terus melawan, tapi saya ingin selalu menjadi "teman baik" untuk diri saya. Jika perasaan depresi muncul, saya ajak bicara baik-baik. Saya tawarkan dengan menggambar, membaca buku, menulis novel, jajan camilan, atau menonton drama korea yang membuat hati senang. Tidak selalu berhasil, kadang saya juga lemah dan keburu menyerah, hingga berakhir meringkuk di dalam kamar tanpa berkegiatan.

Kok bisa saya masih kelihatan normal, termasuk dalam bekerja dan bergaul dengan orang lain? Tentu saja bisa. Tapi tidak semua paham, bahwa orang dengan kondisi seperti saya kadang bisa "kelelahan" tanpa sebab. Dan yang dapat mengendalikan itu semua tentu saja balik lagi ke diri kita. Kalau memang tidak kuat, sebaiknya menghindar dulu untuk menenangkan diri.

Perlu diakui, suka atau tidak suka, setiap orang memiliki perasaan depresi sendiri akan suatu hal atau dalam menghadapi masalah. Belum lama saya kehilangan Bapak karena sakit. Bukan hanya perasaan yang hancur, tapi menjalani hari rasanya tidak semangat karena tidak ada lagi sosok yang setiap hari ada di rumah. Sosok yang bisa saya lihat, sentuh, atau diajak bicara. Tidak mau lagi terjebak dalam perasaan sedih berlarut-larut hingga pikiran depresi muncul kembali, saya selalu berkompromi dengan diri saya. Meyakinkan setiap hari jika semua sudah Kuasa Allah. Jika ditakdirkan terjadi, saya tidak mungkin bisa mencegah. Sekali lagi, itu tidak mudah. Tapi saya tidak mau menyerah.

Seringkali, saya tidak minta hal yang muluk-muluk seperti saya harus selalu ceria, tidak banyak mengeluh, atau harus selalu produktif setiap hari. Tidak, ada kalanya saya mengembuskan napas, mencerna beberapa kejadian dengan perasaan sedih, atau menangis beneran karena diri ini merasa nggak berharga. Maka saya hanya minta pada diri saya untuk terbiasa menerima. Menerima bukan berarti pasrah pada keadaan, bukan pula tidak mau berusaha. Menerima yang dimaksud seperti..."ya sudah tidak perlu berpikir keras untuk hal-hal yang bikin menyiksa diri". 

Jadi, melawan perasaan depresi itu tidak pernah mudah. Kamu bisa senang ketika berhasil melewati, tapi kamu juga harus siap ketika gagal dan hasilnya tetap belum berubah. 

Tidak apa-apa. 

Coba lagi.
Coba lagi.
Coba lagi.

Tidak perlu dipaksa. Tidak perlu terlalu keras sama diri kamu. Lebih baik pelan-pelan merangkul agar bisa melewati suatu kondisi bersama-sama. 

Love.
Amelia Utami

You May Also Like

0 komentar