25 Tahun : Cerita Melawan Side Dark (Part 1)

by - Desember 25, 2016


Tanggal 24 Desember kemarin adalah hari ulang tahun saya yang ke-25. Udah tua ya? Udah seperempat abad hehe. Kata orang, ulang tahun hanya masalah angka yang bertambah. Yang paling penting adalah bagaimana kita menjadi manusia yang lebih baik ke depannya.

Di umur 25 tahun ini saya tidak akan bercerita tentang kapan saya akan menikah atau akan berakhir dimana karir pekerjaan saya nanti. Ya seperti kata orang juga, umur 25 tahun adalah fase paling penting dalam kehidupan manusia. Dimana keputusan yang kita ambil di umur 25 akan berdampak pada lima atau sepuluh tahun yang akan datang.

Tapi biarlah hal-hal yang seperti itu berjalan dengan sendirinya. 

Kali ini saya akan bercerita tentang side dark saya yang tidak banyak orang tau dan cerita ini berkaitan dengan Cerita Awal Berhijab. Kenapa saya memilih cerita itu? Bisa di bilang itu adalah masa paling kelam dalam 25 tahun saya hidup. Saya ingin berbagi cerita ini karena saya bahagia sekaligus lega sudah melewati itu semua. I felt superb! 

Saya masih ingat waktu itu tanggal 30 April 2012, saya begadang sampai jam satu malam untuk menuntaskan membaca novel Perahu Kertas yang saya pinjam dari teman. Saat itu badan saya sedang kurang fit, dari siang hidung mampet dan badan agak demam. Singkat cerita akhirnya saya tertidur dengan berhasil membaca novel tersebut sampai selesai.

Perasaan mengerikan itu datang pada pagi hari, ketika saya bangun tidur. Saya merasa badan saya agak berat dan yang lebih aneh lagi saya merasa ada yang salah dengan diri saya. Saya merasa seperti tidak mengenali diri sendiri. Saya yang biasanya memiliki kegiatan sistematis begitu bangun tidur, mendadak mirip kaya orang linglung. Bingung mau ngapain karena tiba-tiba kehilangan antusias untuk melakukan kegiatan. Saat itu saya masih berpikir waras, mungkin ini karena badan saya sedang kurang fit dan saya berencana akan pergi ke dokter. 

Walaupun dengan terpaksa dan tidak bersemangat, seharian saya berusaha tetap melakukan kegiatan selayaknya anak kosan pada hari minggu : membersihkan kamar, menyuci baju dan mengobrol dengan anak-anak kosan. Namun makin siang saya merasa makin aneh dengan diri saya. Selain kehilangan antusias untuk berkegiatan, saya juga mendadak kehilangan nafsu makan. Sarapan pagi yang tidak pernah saya lewatkan karena saya memiliki penyakit maag, di lewatkan begitu saja. Anehnya saya merasa tidak lapar sama sekali. Menjelang sore saya mulai menangis. Saya tidak tau apa yang sedang terjadi. Tapi perasaan saya semakin gelisah. Seperti ada beban yang berat di hati ini. Saya juga mulai mendengar suara-suara halusinasi memanggil nama saya. Suara dari orang yang saya kenal tapi saya tidak melihat wujudnya.

Malam harinya perasaan gelisah itu semakin menjadi-jadi. Mulai tidak tenang dan bingung harus bagaimana. Yang bisa saya lakukan saat itu adalah menelfon pacar saya, Defbry, untuk mengantarkan saya berobat ke apotek depan kampus. Saya tetap masih berusaha berpikir waras bahwa semua keanehan ini karena saya sedang tidak enak badan. Setelah di antar berobat dan di temani makan oleh Defbry, saya merasa sedikit tenang, tapi saya masih belum berani cerita apa yang saya rasakan. Saya berusaha untuk tetap sewajar mungkin.

Setelah Defbry pulang, perasaan gelisah itu kembali menyergap. Saya mulai ketakutan. Akibatnya saya tidak bisa tidur. Saya yang jarang tidur larut malam, untuk pertama kalinya tidak dapat tidur sampai adzan subuh berkumandang. Saya hanya diam saja. Pikiran saya kosong. Saya baru bisa tertidur pukul lima pagi. Hebatnya, saya bangun pukul tujuh pagi untuk kuliah, saya tidak mengantuk sama sekali. Mata saya segar.

Besoknya, tanggal 1 Mei hingga akhir Mei adalah masa-masa paling melelahkan dalam hidup saya. Bukan hanya kehilangan selera makan dan kehilangan antusias berkegiatan, saya juga mulai tidak fokus dalam mendengarkan orang berbicara. Itu di sadari Defbry ketika dia berbicara dengan saya, saya hanya melamun saja. Saya pergi ke kampus seperti orang linglung. Tidak punya semangat sama sekali. Yang lebih mengerikan lagi, saya bukan hanya mengalami halusinasi pendengaran, tapi juga halusinasi penglihatan. Saat itu saya sedang mengantri untuk memilih kandidat ketua BEM, saya melihat ada orang yang saya kenal berdiri tidak jauh dari depan saya. Saya terus menatapnya. Begitu sadar ternyata orang yang saya kenal itu sedang duduk di samping saya.

Hari ke hari kondisi mental dan fisik saya semakin drop. Saya masih belum berani cerita pada Defbry karena dia sedang sibuk kampanye ketua BEM. Sebagai pelarian, saya hanya cerita pada teman-teman dekat saya. Saya tidak peduli akan dikatai gila, tapi saat itu saya betul-betul membutuhkan bantuan. Saya tidak tau harus melakukan apa agar rasa gelisah saya hilang. Awalnya mereka fikir saya terlalu capek dan terlalu menghayati membaca novel sehingga menganggap apa yang saya rasakan adalah hal yang biasa. Mereka menyarankan saya untuk banyak berdoa.

Setiap malam adalah saat paling melelahkan karena saya harus melewati malam dengan perasaan gelisah, hati tidak tenang, mata sulit terpejam dan kadang mendengar ada yang memanggil nama saya. Saat itu yang bisa saya lakukan adalah menangis sambil memukul-mukul dada saya. Saya teriak dalam hati : Tolong, saya ingin sehat. Saya tidak mau membuat orang tua saya cemas dengan keadaan saya ini. Besok paginya saya pikir akan membaik, tapi nyatanya tidak ada yang berubah. Saya malah jadi malas mandi, malas membersihkan kamar kos dan berubah menjadi anak yang sensitif, kehilangan selera humor dan mudah marah-marah. Saya yang biasanya kalau lagi nggak ada kerjaan suka nulis cerita di laptop, mendadak kehilangan minat. Saya yang biasanya nggak bisa liat kamar kosan berantakan, saat itu membiarkan cucian kotor menumpuk dan barang-barang berserakan. Kerjaan saya cuma tidur, makan, sholat, tidur lagi. Benar-benar tidak produktif.

Saya kenapa?

Itulah pertanyaan saya setiap harinya.

Saking bingungnya saya harus bagaimana, saya hanya bisa cerita melantur sana sini pada teman yang saya anggap mengerti dengan penjelasan yang tidak masuk akal. Saya membombardir mereka dengan mengirimkan sms dengan pertanyaan yang hampir sama : saya kenapa? Saya tau perbuatan saya ini annoying banget, tapi saya membutuhkan bantuan. Tolong saya. Awalnya mereka berempati, tapi saya merasakan lama-lama mereka merasa terganggu. Saya mulai menyadari saat itu temen-temen yang saya anggap dekat mulai menjauh. Di satu sisi saya merasa sedih, tapi di sisi lain saya juga tidak mau memaksa mereka untuk membantu saya.

Pada saat makan malam dengan Defbry, saya baru berani menceritakan apa yang saya rasakan. Tanggapan Defbry sama seperti mereka : saya terlalu menghayati membaca novel jadi terbawa sampai halusinasi. Saya tanya : apa ada yang "gangguin" saya? Ya saya memang konyol. Saking bingungnya saya sampai berpikir ke arah sana. Saran Defbry saat itu saya izin kuliah saja dan pulang ke rumah untuk istirahat.

Akhirnya saya pulang ke rumah dengan di antar Sherly, teman dekat saya. Saya pikir dengan di rumah saya sedikit tenang karena bisa bertemu dengan keluarga saya. Nyatanya, kondisi saya malah semakin nggak terkendali. Saya susah tenang dan tidak bisa diam. Karena kalau diam saya akan melamun. Harusnya saya memanfaatkan momen saat Ei -panggilan akrab Sherly- main ke rumah untuk mengajak dia mengenal kampung halaman saya. Yang ada saya malah merepotkan dia dengan cerita-cerita saya yang ngawur. Saya pikir saya sudah benar-benar tidak waras.

Jujur saja yang saya takutkan adalah saya membuat orang tua saya cemas dengan kondisi saya, karena saat itu kakak laki-laki saya juga sedang sakit mental. Bayangkan betapa beratnya beban mereka kalau harus mengurus satu anak lagi yang terindikasi sakit mental. Untungnya ibu selalu memberi saya semangat untuk tetep berpikir positif, melawan halusinasi dengan membaca doa serta meminta pertolongan pada Allah. Kata-kata ibu yang masih saya ingat : "Mi, aa udah sakit. Jangan sampai di tambah kamu. Kamu harus kuat. Inget kuliah, inget bapak yang membiayai kuliah kamu yang nggak murah. Kalau kamu udah nyerah karena begini aja, berarti kamu nggak kasihan sama ibu dan bapak".

Yang saya pikirkan saat itu : saya juga nggak mau begini. Tapi saya susah melawan. Tolong saya, bu.


Begitulah kondisi awal-awal saya saat mengalami sakit mental. Rasanya lebih melelahkan daripada sakit fisik. Orang lain mungkin menganggap saya lebay dan mendramatisir, tapi percayalah bagi orang yang mengalaminya, itu tidak mudah. Siapa yang mau sakit? Tentu saja tidak ada.

Kalau ada waktu, saya sambung lagi ya.

Love.
Amelia Utami.

You May Also Like

0 komentar