Ramadhan Story #2 : Nostalgia Bersama Lupus

by - Juni 18, 2017

Hai, I'm comeback! 

Ramadhan Story kali ini saya akan membahas tentang salah satu buku fiksi Indonesia yang melegenda, khususnya untuk anak-anak atau remaja tahun 80-90an. Yup, siapa yang tidak kenal tokoh Lupus? Bocah SMA yang terkenal dengan penampilan rambut jambul ala vokalis Duran-Duran, tas selempang yang talinya sengaja dipanjangin dan hobi banget makan permen karet.

Lupus tidak seperti tokoh fiksi yang di gambarkan dalam novel-novel jaman sekarang : cakep, tajir, punya geng, naksir cewek cantik dan hobi foya-foya. Bagi saya sendiri khususnya, salah satu daya pikat yang membuat tokoh Lupus masih di kenang hingga sekarang adalah karena banyak sifat dan kehidupan sehari-hari Lupus (yang keliatan sepele) tapi bisa di jadikan teladan.

Dalam seri novelnya, Lupus diceritakan sebagai anak SMA yang apa adanya (kadang terlalu polos), ceria dan hobi ngebanyol (bercanda). Dia hanya tinggal bersama Mami dan adik semata wayangnya bernama Lulu. Keluarga Lupus sederhana tapi membahagiakan. Lupus juga memiliki teman akrab bernama Boim (yang hobi ngutang di warung dan gombalin cewek-cewek) dan Gusur yang kalau makan bisa ngabisin nasi satu bakul.

Salah satu cerita yang paling membekas di ingatan saya adalah Pameran Foto Tunggal (dalam serial novel Makhluk Manis Dalam Bus). Di sana di ceritakan bahwa Anto, teman sekelas Lupus, mempertanyakan mengapa Lupus sangat di sukai oleh teman-teman dan para Guru? Padahal Lupus tidak pintar (tidak pernah masuk ranking 20 besar), hobinya bercanda, puisi-puisi buatannya sederhana, tapi berhasil di tempel di mading. 

Salah satu puisi Lupus dengan judul Sayur Asem :

Sayur asem adalah sayur kesenanganku
Eh, karena kebanyakan makan sayur asem 
semut-semut yang biasanya mengerubungi air seniku, kini tidak lagi karena...asam....

Entah selera humor saya yang receh atau gimana, tapi saya ketawa baca puisinya. Apa adanya gitu loh walaupun garing. 

Dan dari sana Anto menemukan salah satu hal yang patut di tiru daari Lupus adalah...Lupus selalu memandang hidup itu indah.

Saya sebagai pembaca novel Lupus dari seri anak, remaja hingga dewasa, dapat merasakan energi positif dari tokoh fiksi tersebut. Lupus memang tidak pintar dalam akademik, tapi dia pintar menulis dan membuat puisi. Dia tidak malu magang di kantor penerbit dan alasannya sederhana : royalti dari nulisnya dia beliin permen karet, membelikan cokelat toblerone untuk adiknya atau membeli kacamata untuk ibunya. Dalam pergaulan sehari-hari, Lupus selalu menjadi dirinya sendiri. Selalu saja ada ide konyol untuk ngisengin temennya atau ngobrol hal-hal yang seru yang membuat teman-temannya tertawa. Keluarga Lupus bukan keluarga kaya, tapi keluarganya sangat hangat, suka bercanda dan saling membantu. Maminya tidak pernah menuntut Lupus menjadi anak pintar, Mami hanya ingin Lupus tumbuh menjadi anak yang sehat dan bahagia.

Dan yeah....

I'm learning a lot from Lupus.

Yang paling penting bukan lah hidup yang sempurna, tapi hidup yang bahagia.

Dengan segala kekurangan kita, tapi tidak rendah diri. 
Dengan segala kelebihan kita, tapi tidak menyombongkan diri.

Kalau kata Lupus : "Selama kita masih bisa melihat matahari pagi, berarti kita masih di berikan kesempatan untuk menikmati hidup. Jadi bersyukur dan berbahagialah".




Oh ya, jika ada yang bertanya, buku apa yang tidak akan pernah saya jual dan berikan kepada orang lain?

Yup, tentu saja, Lupus.


Saya mengoleksi buku Lupus sejak tahun 1997, beberapa ada yang warisan dari kakak saya, beberapa ada yang beli sendiri. Karena saya tipe orang yang kalau suka sama sesuatu, bakal saya simpan dengan sebaiknya-baiknya 😊 Oh ya, awal saya suka membaca dan menulis juga karena terinspirasi dari Lupus.

*nggak ada yang nanya, woooy*

AHAHAHAH


*mudah-mudahan suatu saat bisa ketemu sama penulis aslinya, Hilman.

Amin.


Love.
Amelia Utami

You May Also Like

0 komentar