T.O.P Big Bang dan Mental Illness

by - Juni 08, 2017


Bagi penggemar Kpop pasti udah pada tau kalau salah satu personil boyband Big Bang, T.O.P di larikan ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri. T.O.P diduga mencoba bunuh diri sehingga penyanyi asal Korea Selatan tersebut sampai masuk ruang ICU. 

Baca beritanya disini.

Menurut berita yang di lansir, T.O.P di duga overdosis obat anti depresan karena stress dengan kasus narkoba yang di hadapinya. Saya bukan penggemar T.O.P atau Big Bang. Denger lagu-lagunya aja belum pernah (di tipukin penggemarnya 😜). Tapi di dunia selebriti, kasus T.O.P bukan kali pertama atau mungkin banyak selebriti lain yang mengalaminya juga tapi nggak ke-publish media. Dan di dunia ini, khususnya di Indonesia, banyak kasus-kasus mental illness yang masih dianggap sepele. Padahal hal tersebut bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan berakhir dengan...upaya melakukan bunuh diri.

Walaupun saya bukan penggemarnya, saya ikut merasakan apa yang di rasakan abang T.O.P (sok akrab). Bukan sebagai penderita, tapi sebagai orang yang memiliki anggota keluarga penderita mental illness. 

Awalnya, sama seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya, saya menganggap sakit mental itu lebay dan mengada-ada. "Ah, kurang bersyukur kali" atau "Ah, lebay itu bukan sakit mental. Itu mah lagi banyak pikiran aja". Ya, saya bicara begitu karena tidak merasakan apa yang di alami penderita. Hingga suatu hari kakak laki-laki saya menderita mental illness. Dari sana saya seperti di tampar.

Nggak banyak yang tau (dan memang saya memilih untuk nggak cerita) kalau kakak saya penderita  mental illness. Sudah satu tahun ini dia melakukan konsultasi dan mengkonsumsi obat-obatan dari psikiater. Dengan harga obat yang tidak murah, I feel it. Feel deep. Tapi sesungguhnya segala keletihan, kesabaran dan usaha kami bukan berawal dari sana. Jauh sejak bertahun-tahun lalu.

Kakak laki-laki saya ini basic-nya memang bandel dari SMP : suka bolos sekolah, bohong ke orang tua, lulus kuliah lama, nggak pernah betah kerja dan lain-lain yang nggak mungkin saya cerita semua di sini. Awalnya kami anggap semua itu hanya kenakalan biasa. Ya namanya juga laki-laki ya. Hingga pernah waktu kuliah dia pulang ke rumah dan ujug-ujug nangis pengen bunuh diri. Kakak saya bawa-bawa pisau di depan ibu. I still remember. Dengan muka polos anak SMP saya cuma bisa nangis.

Bodohnya, kami semua menganggap itu berlalu begitu saja. Tidak ada rasa curiga terhadap kesehatan mental kakak saya. Lagi-lagi kami menganggap itu drama anak kuliah labil yang lagi patah hati. Saya saja baru menyadari ketika sudah dewasa. Ketika semua hampir terlambat untuk di sembuhkan.

Puncaknya tahun 2012 ketika kakak saya resign dari pekerjaannya. Pelan-pelan dia mulai menarik diri dari kehidupan sosial. Kakak saya jadi pemurung, nggak banyak bicara, nggak suka berbaur lagi, lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Dia juga mulai kehilangan minat dalam beraktivitas, yang dia lakuin cuma tidur, makan dan mandi. Sholat pun harus di paksa dulu dengan susah payah. Kami semua sudah curiga namun belum ada yang berani ambil tindakan. Jadi kakak saya sempet di biarin aja gitu. Terlebih setiap di tanya jawabnya ngasal atau sambil marah-marah atau nggak di jawab sama sekali. 

Kita mulai sadar (yeah, we are stupid or etc) kalau kakak saya menderita mental illness ketika dia mulai berbicara sendiri, tertawa sendiri dan mengamuk sambil membanting barang-barang di sekitarnya. Saya harus melewati semua itu bertahun-tahun. Mendengar bantingan barang-barang, jeritan bapak saya, tangisan ibu dan kakak perempuan saya.

Saya melewati fase-fase yang mungkin orang lain nggak paham. Dan ini alasan kenapa saya memilih untuk nggak cerita. Orang mungkin bisa mendengarkan cerita saya, tapi belum tentu bisa memahami.

  • Saya pernah ada di fase membenci kakak saya, memutuskan untuk tidak peduli dan membiarkan kakak saya begitu saja. Saya mungkin adik yang jahat, tapi saya manusia biasa yang pernah merasakan capek luar biasa menghadapi kakak saya.
  • Saya pernah ada di fase menangis keras di dalam kamar sendirian kalau kakak saya sudah mengamuk dan tidak terkontrol.
  • Saya pernah ada di fase tidak berani keluar rumah karena malu dengan omongan tetangga.
  • Saya pernah ada di fase bisa marah sejadi-jadinya hanya karena kakak saya tidak bisa membedakan mana gelas miliknya dan milik saya.
  • Saya pernah ada di fase teriak kencang-kencang ketika saya mendapati kakak saya berbicara sendiri tanpa lawan bicara.
  • Saya pernah ada di fase saya malu punya kakak penderita  mental illness.
  • Saya pernah ada di fase paling rendah : pikiran semrawut, stress, nggak tau harus bagaimana dan rasanya pengen menyerah saja.

Tahun 2014 kami baru memulai pengobatan untuk kakak saya. Kami nggak langsung ke psikiater, tapi ke....habib. Semacam pengobatan spiritual. Ya di jaman modern ini, orang tua saya masih berpikir kalau kakak saya mental illness karena ada yang "ganggu". Hmmm oke walaupun agak nganu ya. Satu tahun nggak ada perubahan. Kami mulai nyerah lagi.

Tahun 2016 baru kami memutuskan mulai membawa kakak saya ke psikiater. Bapak menduga kakak saya menderita skizofrenia karena sering mengalami halusinasi, baik halusinasi pendengaran maupun penglihatan. Tapi menurut psikiater, kakak saya menderita depresi. Dan itu sudah lama. Sejak bertahun-tahun lalu. Faktor penyebabnya banyak : bisa karena trauma, rasa tidak percaya diri, mental yang lemah atau ada kejadian menyakitkan yang membekas di ingatannya. Itu yang masih kami cari tau sampai sekarang.

Sejak itu saya mulai berdamai dengan diri sendiri. Lebih tepatnya mulai menerima keadaan kakak saya. Awalnya memang nggak mudah. Saya masih sering emosi dan ujungnya marah-marah. Kemudian lama-lama saya memutuskan untuk membantu penyembuhan kakak saya. Di mulai dari hal-hal kecil seperi menegur kalau dia mulai melamun atau lupa menyimpan barang, mengulang perintah dan pertanyaan dengan sabar, mengajak bicara meskipun tatapan matanya masih kosong dan memperlakukannya seperti orang sehat pada umumnya. Saya mulai memahami dia, bukan hanya sebagai kakak, tapi juga sebagai manusia.

Oh ya, saya cerita begini bukan untuk di kasihani ya. I accepted sympathy but didn't accepted pity. Keadaan kakak saya juga sekarang jauuuh lebih baik. Ada kemajuan meskipun nggak pesat. Setidaknya dia sudah nggak ngamuk-ngamuk lagi. Dia juga sudah mulai kerja meskipun cuma bantu-bantu. Mau beraktivitas seperti biasa dan pelan-pelan sudah bisa di ajak ngobrol seperti biasa. Periode halusinasinya pun sudah berkurang.

Dari sharing ini saya cuma mau bilang bahwa di sekitar kita sebenarnya banyak yang mengalami hal yang sama seperti kakak saya atau T.O.P Big Bang. Mereka sebenarnya butuh bantuan, tapi banyak yang nggak peka sehingga penderita memilih menanggung beban sendirian atau memilih jalan akhir yang ekstrim. 

Terakhir, mengutip dari kata-kata dalam drama korea It's Okay That's Love :

"Semua orang memiliki penyakit jiwa, hanya saja tidak menyadarinya"

It's true....

Love.
Amelia Utami

You May Also Like

0 komentar