Source : twitter |
Dua hari lalu, cuitan itu muncul di timeline saya. Tidak main-main datang dari penulis terkenal yang karyanya sudah tidak diragukan. Kenapa kok saya langsung tahu platform menulis dan tabloid yang dimaksud? Yup, karena cerpen saya beberapa bulan lalu diterbitkan di sana. Dan benar adanya bahwa tidak ada honor bagi penulisnya. Dipostingan ini saya tidak mau ikut mengkritisi atau mendadak menyerang salah satu pihak yang disebutkan. Ada dua alasan :
- Saya masih terikat kontrak kerja sama dengan platform menulis tersebut. Kerja samanya legal alias ada surat perjanjian resmi yang ditandatangani dan bermaterai. Saya juga punya hubungan baik dengan salah satu editor di sana karena saya pernah ikut program mentoring novel bersama beliau. Dan saya akui, banyak manfaat yang saya dapat. Berkat bantuan beliau juga karya saya bisa terbit secara daring dengan status premium. Pembagian royaltinya jelas dan saya sudah pernah mencairkannya (lumayan untuk tambahan jajan hehe)
- Saat saya mengirimkan cerpen itu, jujur saja saya tidak kepikiran honor. Saya awalnya ingin men-challenge apakah tulisan saya layak terbit dengan melalui tahap suntingan editor. Salahnya, saya memang tidak bertanya terkait honor (meskipun tidak ada dalam tujuan utama saya, sebagai penulis saya memiliki hak untuk bertanya). Dan sayangnya, editor tidak memberitahu juga (apakah karena saya tidak bertanya? Mungkin saja). Buktinya, saat saya bertanya, beliau menjawab dengan lugas. Tidak ada honor.
Apakah ada rasa kecewa? Saya tidak menampik. Namun, kembali lagi ke tujuan awal. Saat cerpen diterbitkan cetak kali pertama, ada perasaan senang dan bangga. Ada karya fisik yang bisa saya perlihatkan pada ibu saya dan tentu saja pembaca di seluruh Indonesia. Cerpen itu saya buat tidak asal. Jadi, ketika terbit (walaupun tidak mendapat honor), saya tidak langung insecure bahwa karya saya tidak layak dibaca.
Nah, balik lagi ke persoalan, bagaimana penulis pemula (seperti saya juga) memperlakukan karya kami? Ada yang bilang tujuan menulis bukan hanya soal uang. Ya ada betulnya. Makanya saya pernah buat cuitan kalau tujuan orang menulis itu beda-beda : ada yang cuma hobi aja (kemungkinan besar si penulis memiliki pekerjaan tetap sehingga soal honor tidak jadi soal, toh menulis bukan pekerjaan utama), ada yang cuma sharing sebagai bentuk pelampiasan perasaan, atau ada yang memang benar-benar menjadikan menulis sebagai pekerjaan utama sehingga untuk kategori penulis ini honor dan royalti bukan lagi sebuah tujuan, tapi yang memberinya makan dan kebutuhan hidup lain. Khusus terakhir, setidaknya sudah memiliki karya yang dikenal dan penggemar sendiri sepertinya.
Struggle penulis pemula seperti saya adalah bagaimana cara saya meloloskan karya untuk diterbitkan? Bukan hanya berbentuk daring, tetapi juga berbentuk fisik. Itu adalah gerbang karya bisa dikenal secara luas. Karena saya sendiri sering bergelut pada pemikiran : sudah pantaskah tulisan saya mendapatkan honor? Bukankah saya masih banyak kekurangan? Sehingga ketika ada yang berminat menerbitkan, pikiran saya bukan lagi tertuju pada honor, tapi pada rasa bangga. Ini yang mungkin disebut terlalu idealis. Padahal, honor adalah hak penulis ketika karyanya berhasil diterbitkan. Honor juga bisa jadi sebagai pemicu semangat agar semakin banyak berkarya. Wow, berubah jadi realistis hehe.
Setelah saya menulis panjang kali lebar, saya mendapatkan kesimpulan, seandainya saya mengirimkan tulisan kembali, tentu saja kepada media yang menghargai hak penulis. Kalau mau menerbitkan gratis, ya lebih baik di blog pribadi.
Intinya, jangan kapok menulis.
Tertanda,
Penulis pemula yang sudah sering ditolak penerbit dan media lain, tapi tetap aja menulis. Mencoba berhenti, tapi nggak pernah lama. Akhirnya, balik lagi menulis karena kadung cinta (ceila).
Love,
Amelia Utami